Marilah kita senantiasa bersyukur
atas segala karunia dan segala limpahan nikmat yang kita rasakan hingga saat
ini, , disisa usia kita, allah dengan rahman dan rahimnya kita masih
dipertemukan dengan ramadhan yang penuh berkah, bulan penuh kemuliaan dan bulan
pengampunan.
Sangat merugilah bagi yang menyia-nyiakannya. Rasulullah saw menegaskan, “barangsiapa berpuasa ramadhan
karena iman dan mengharapkan pahala dari allah swt, niscaya allah mengampuni
dosanya yang telah lalu. Dan barangsiapa melakukan amal ibadah tambahan (sunah)
di bulan ramadhan karena iman dan mengharapkan pahala dari allah swt, maka ia
akan diampuni dosanya yang telah lalu.” (H. Bukhari muslim).
Kaum
muslimin sidang jum’ah rahima kumullah,
Melalui keutamaan bulan ramadhan
ini “khatib mengajak khususnya pribadi dan seluruh jamaah, marilah kita selalu
meningkatkan iman dan ketaqwaan kita kepada allah swt. Yakni melaksanakan
perintahnya dan menjauhi segala larangannya.
Kaum
muslimin sidang jum’ah rahima kumullah,
Hari
ini kita sudah memasuki hari yang ke-5 untuk berpuasa dibulan yang penuh rahmat
ini, ada dua hal yang kita garis bawahi yaitu istilah membatalkan dan
mengurangi nilai pahala puasa.
1.
Membatalkan
Kita sering melihat banyak di antara kaum muslimin yang
meremehkan kewajiban yang agung ini. Jika kita lihat di bulan ramadhan di
jalan-jalan ataupun tempat-tempat umum, banyak saudara muslim tidak melakukan
kewajiban ini atau sengaja membatalkannya. Padahal mereka kuat secara fisik
mereka malah terang-terangan makan dan minum di tengah-tengah saudara mereka
yang sedang berpuasa tanpa merasa berdosa sama sekali. Padahal mereka adalah
orang-orang yang diwajibkan untuk berpuasa dan tidak punya halangan sama
sekali. Mereka adalah orang-orang yang bukan sedang bepergian jauh, bukan
sedang berbaring di tempat tidur karena sakit dan bukan pula orang yang sedang
mendapatkan halangan haidh atau nifas. Mereka semua adalah orang
yang mampu untuk berpuasa.
Dalam hal ini sebuah kisah dari sahabat abu umamah al bahili radhiyallahu ‘anhu. Beliau (abu umamah) menuturkan bahwa beliau mendengar rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,”ketika aku tidur, aku didatangi oleh dua orang laki-laki, lalu keduanya menarik lenganku dan membawaku ke gunung yang terjal. Keduanya berkata,”naiklah”. Lalu kukatakan,”sesungguhnya aku tidak mampu.” Kemudian keduanya berkata,”kami akan memudahkanmu”. Maka aku pun menaikinya sehingga ketika aku sampai di kegelapan gunung, tiba-tiba ada suara yang sangat keras. Lalu aku bertanya,”suara apa itu?” Mereka menjawab,”itu adalah suara jeritan para penghuni neraka.”
Kemudian dibawalah aku berjalan-jalan dan aku sudah bersama orang-orang yang bergantungan pada urat besar di atas tumit mereka, mulut mereka robek, dan dari robekan itu mengalirlah darah. Kemudian aku (abu umamah) bertanya,”siapakah mereka itu?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,”mereka adalah orang-orang yang berbuka (membatalkan puasa) sebelum tiba waktunya.” (hr. An nasa’i dalam al kubra, sanadnya shahih. Lihat shifat shaum nabi, hal. 25).
Dalam hal ini sebuah kisah dari sahabat abu umamah al bahili radhiyallahu ‘anhu. Beliau (abu umamah) menuturkan bahwa beliau mendengar rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,”ketika aku tidur, aku didatangi oleh dua orang laki-laki, lalu keduanya menarik lenganku dan membawaku ke gunung yang terjal. Keduanya berkata,”naiklah”. Lalu kukatakan,”sesungguhnya aku tidak mampu.” Kemudian keduanya berkata,”kami akan memudahkanmu”. Maka aku pun menaikinya sehingga ketika aku sampai di kegelapan gunung, tiba-tiba ada suara yang sangat keras. Lalu aku bertanya,”suara apa itu?” Mereka menjawab,”itu adalah suara jeritan para penghuni neraka.”
Kemudian dibawalah aku berjalan-jalan dan aku sudah bersama orang-orang yang bergantungan pada urat besar di atas tumit mereka, mulut mereka robek, dan dari robekan itu mengalirlah darah. Kemudian aku (abu umamah) bertanya,”siapakah mereka itu?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,”mereka adalah orang-orang yang berbuka (membatalkan puasa) sebelum tiba waktunya.” (hr. An nasa’i dalam al kubra, sanadnya shahih. Lihat shifat shaum nabi, hal. 25).
Kedua, mengurangi nilai puasa,
Jika seseorang berniat ibadah puasa dimalam hari (sebelum
fajar menyingsing), lalu ia meninggalkan segala hal yang dapat membatalkan
puasanya, seperti makan, minum, dan berhubungan intim dengan istri, maka
puasanya dapat dikatakan sah. Artinya, telah terlepas kewajiban berpuasa
darinya. Namun apakah hal tersebut pasti membuahkan pahala?
Pada dasarnya, segala perkara yang sia-sia -apalagi
maksiat- dapat merusak pahala puasa seseorang. Oleh karena itu, seyogyanya kita
menghindarinya sekuat tenaga agar kita dapat meraih pahala yang sempurna dengan
izin allah melalui puasa yang kita laksanakan. Atau paling tidak jangan sampai
puasa kita –meskipun sah– tidak berbuah pahala, melainkan hanya mendapat lapar
dan haus semata, na’uudzu billaah min dzalik. Diantara perkara-perkara
tersebut adalah :
Berkata kotor, berteriak-teriak
(bertengkar), bertindak bodoh, dan melakukan perkara yang sia-sia.
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya), ”apabila
seorang diantara kalian berpuasa maka janganlah ia berkata kotor,
berteriak-teriak (bertengkar), dan bertindak bodoh. Jika ada orang yang mencela
atau mengajaknya bertengkar maka katakanlah : ‘sesungguhnya aku sedang berpuasa
(dua kali)’ ” (hr. Bukhari dan muslim)
Kemudian berkata
dan melaksanakan kedustaan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda
(yang artinya), “barang siapa yang tidak meninggalkan ucapan dusta dan
melakukan sesuatu dengan dasar kedustaan itu, maka tidak ada gunanya ia
meninggalkan makanan dan minumannya itu disisi allah”(hr. Bukhari)
Mendengar, melihat, membicarakan, dan melalukan
segala perkara yang diharamkan olehâ allah
Hikmah syariat yang tertinggi yang berada dibalik
perintah puasa adalah agar seseorang dengan ibadah puasanya ini dapat menjadi
hamba allah yang bertaqwa. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “wahai
orang-orang yang beriman, telah diwajibkan atas kalian berpuasa, sebagaimana
puasa juga telah diwajibkan atas umat-umat sebelum kalian, agar kalian menjadi
orang-orang yang bertaqwa” (qs. Al baqarah : 183)
Banyak sekali orang yang ketika berpuasa dan ketika
menunggu waktu berbuka yang penuh berkah, mereka tidak melewatinya dengan
beramal sholeh dan melakukan hal-hal yang bermanfaat, namun justru
menghabiskannya dengan sekian banyak perbuatan maksiat, baik yang diucapkan
oleh lisan, seperti menggunjing orang (ghibah), mengadu domba sesama
muslim (namimah), mencaci-maki orang, dan semisalnya, semua ini –tanpa
keraguan sedikitpun– merusak nilai-nilai dan janji pahala puasa yang istimewa
dari allah ta’ala dan merusak inti tujuan dan hikmah disyari’atkannya
puasa itu sendiri, yaitu untuk meraih derajat taqwa.
Makan dan minum adalah perkara yang – pada asalnya –
mubah dilakukan oleh orang yang tidak sedang berpuasa, namun ia menjadi haram
dilakukan pada saat puasa, dan dapat membatalkan puasa. Akan tetapi bagaimana
dengan perbuatan maksiat? Perbuatan maksiat kapan saja ia tetap haram, baik
saat berpuasa ataupun tidak. Bahkan kemaksiatan yang merupakan keburukan ini
akan semakin bertambah buruk jika dilakukan oleh seseorang yang sedang
melaksanakan puasa, dibanding pada saat yang lainnya. Perbuatan maksiat itu
dapat merusak keutuhan puasa dan dapat membatalkan pahala puasa yang telah
dijanjikan allah ta’ala. Sebagaimana yang diisyaratkan oleh hadits nabawi
diatas, ”apabila seorang diantara kalian berpuasa maka janganlah ia berkata
kotor, berteriak-teriak (bertengkar), dan bertindak bodoh. Jika ada orang yang
mencela atau mengajaknya bertengkar maka katakanlah : ‘sesungguhnya aku sedang
berpuasa (dua kali)’ ” (hr. Bukhari dan muslim).
Dan hadits yang lain, “barang siapa yang tidak
meninggalkan ucapan dusta dan melakukan sesuatu dengan dasar kedustaan itu,
maka tidak ada gunanya ia meninggalkan makanan dan minumannya itu disisi
allahӉ (hr. Bukhari)
Demikianlah khutbah singkat ini, marilah kita
berusaha melaksanakan puasa ini sesuai dengan hikmah tertinggi puasa itu
sendiri, yaitu agar dapat menjadi hamba allah ta’ala yang bertaqwa
kepada allah ta’ala dengan sebenar-benar taqwa, yaitu dengan cara
mengikhlaskan ibadah puasa hanya untuk allah ta’ala dan menjalankan
sesuai dengan tuntunan rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta
meninggalkan segala hal yang dapat merusak nilai dan pahala puasa kita tahun
ini.