TAK PUASE; TAK RAYE
(Sebuah
Renungan sebelum Ramadhan berakhir)
Sebuah
ungkapan yang sangat menarik untuk kita renungkan dari animasi populer dari
negeri sebelah sikembar Upin dan Ipin “tak puase, tak raye”. Jika dilihat dari bahasa
keseharian , mungkin ini ungakan lucu, namun jika dilihat dari esensi puasa itu
sendiri, ungkapan ini sangatlah tepat untuk kita menginstropeksi diri sebelum
berakhirnya Ramdhan. Sebulan penuh berpuasa menahan diri untuk tidak makan,
tidak minum, tidak berhubungan suami istri, dari terbitnya fajar sampai
tenggelamnya matahari. Usaha tersebut dilakukan karena iman dan untuk meraih
taqwa. Sebagaimana Firman Allah SWT dalam Q.S: 2:183 yang memerintahkan puasa
disebutkan: “la allakum tattaqun”
(agar kamu bertakwa). Sehingga dapatlah dikatakan, bahwa tujuan puasa itu
adalah agar kita bertakwa.
Mengutip
Penjelasan M. Quraish Sihab (2008) kata “takwa” mencakup segala macam
kebajikan. Ilmu itu takwa, sabar itu takwa (bagian dari takwa). Ada yang
mengatakan, bahwa puasa yang kita lakukan adalah untuk menenun pakaian takwa.
Lebaran nanti, barulah pakaian takwa tersebut kita kenakan. “Wa libasut taqwa zalika khair”.
Sebutlah apa saja dari kebaikan, maka itu termasuk ke dalam “takwa”. Jadi,
istilah “takwa”, merupakan segala macam kebaikan ada di dalamnya. Takwa adalah
istilah yang digunakan oleh Alquran untuk menggambarkan “dima ul khair” (himpunan dari segala macam
kebaikan).
Lebih lanjut
dijelaskan, jika Alquran mengatakan, bahwa ”diwajibkan kepada kamu berpuasa
supaya kamu bertakwa,” maksudnya adalah supaya terhimpun dalam dirimu segala
macam kebajikan. Jadi jelaslah, bahwa puasa bukanlah cuma menahan diri (sabar)
untuk tidak makan dan tidak minum.
Kemudian dalam
hadits Rasulullah yang cukup terkenal, hadits Qudsi yaitu sabda Rasulullah yang
merupakan firman Allah, yang firman Allah tersebut tidak termaktub di dalam
Alquran, tetapi disampaikan oleh Malaikat Jibril kepada Rasulullah, kemudian
Rasulullah menyusun kata-katanya. Kalau Alquran merupakan firman Allah yang
disampaikan oleh Malaikat Jibril yang redaksinya langsung dari Allah. Kalau
ini, ada yang dikatakan oleh Rasullah, ada yang dikatakan oleh Jibril. Rasulullah
bersabda, Allah berfirman: “Ash-shaumuli
wa ana azzibi.” Puasa itu untuk-Ku, dan Aku yang akan memberi
ganjaran-Nya. Allah mengatakan, bahwa puasa itu untuk-Nya, Dia lah yang akan
memberinya pahala.
Ada orang
yang berpuasa cuma menahan diri dari makan, minum, dan hubungan suami istri.
Ada juga yang berpuasa menahan diri dari makan, minum, hubungan suami istri,
dan menahan diri untuk tidak memaki orang lain. Ada juga yang berpuasa tidak
makan, minum, hubungan suami istri, tidak memaki orang lain, dan dia belajar,
membersihkan hatinya, serta tidak dengki.
Dari
penjelasan di atas dapat dipahami bahwa yang Maha mengetahui hati itu hanyalah
Allah. Karena itulah, tidak bisa lantas digeneralisir. “Akulah yang akan
memberi pahalanya,” kata Allah. Kemudian dalam hal ini, para ulama memahami
sabda Rasulullah yang merupakan firman Allah ini dengan mengatakan: “Karena
puasa itu adalah rahasia antara yang berpuasa dengan Allah, maka itu sebabnya
Allah berfirman: puasa untuk-Ku.” Ada juga yang mengatakan, bahwa esensi
(tujuan akhir) dari puasa adalah takwa. Dia untuk Allah, yang kemudian
ditafsirkan, bahwa untuk Allah yang dimaksud itu adalah rahasia.
Jadi, makna
“takwa” merupakan arah yang dituju
oleh puasa. Itulah esensinya. Seabgaimana Rasulullah bersabda:“Qammin shaa-imin laysalahu min shiyamihi
illal ju’u wal ‘athas.” Banyak orang yang puasa, tetapi tidak
mencapai esensinya, melainkan hanya lapar dan haus. Dari segi hukum ia mungkin
berpuasa, tetapi bukan itu yang dimaksudkan oleh Allah. Maksud dari puasa
adalah kendalikan diri, hiasi diri. Itulah esensi dari puasa sebenarnya.
Nah, Lantas bagaimana istilah upin dan ipin tak puase tak
raye. Yang dimaksud disini adalah apakah orang yang tidak berpuasa dapat meraih
fitri. Sebagaimana Makna Idul Fitri itu sendiri yaitu memiliki beberapa
pengertian dan pemaknaan, diantaranya yaitu Idul Fitri juga bisa diartikan
sebagai puncak atau klimaks dari pelaksanaan ibadah puasa di bulan Ramadhan. Idul
Fitri sendiri memiliki keterkaitan makna dengan tujuan akhir yang ingin diraih
dari pelaksanaan kewajiban berpuasa. Idul Fitri secara bahasa atau etimologi
bisa berarti Hari Raya Kesucian atau bisa juga diartikan sebagai Hari
Kemenangan umat Islam. Kemenangan disini adalah bentuk dari kemenangan dalam
menggapai kesucian atau perwujudan dari kembali kepada keadaan fitrah
(Fitri) (Lihat. Quraish Shihab untuk suarakarya-online.com)
Dari penjabaran tersebut berarti kata Idul Fitri atau kembali kepada fitrah
merupakan pengertian yang sangat relevan atau berhubungan dengan makna
sebenarnya dari keberhasilan yang diperoleh setelah berakhirnya pelaksanaan
ibadah puasa. Beberapa sumber juga menganalogikan Idul Fitri atau Lebaran
sebagai jalan menuju kepada keadaan fitrah manusia layaknya seperti seorang
bayi yang baru dilahirkan, bersih dan tanpa dosa.
Demikian tulisan seingkat ini, bukan untuk mengajari atau mengatakan kaum
muslimin yang tak berpuasa tidak melaksanakan lebaran atau merayakan idul
fitri. Akan tetapi paling tidak disisa waktu yang ada dapat digunakan untuk
berpuasa, perbanyak amal, baca al-Qur’an, shalat qiyamul lail, bersedekah,
berzakat dan bertaubat sehingga dihari kemenagan kita dapat meraih Rahmat Allah
di hari fitri. Karena dibulan ramadhan yang sebentar lagi akan berakhir, sangat
sayang bulan penuh rahmat, bulan pengampunan kita sia-siakan. Semoga kita
mendapat ampunan dan keberkahan dibulan penh kemuliaan. Amin allahumma Amin.
Wallahu’alam bisawwab.
Emang keren am pak jam ni,boleh belajar nulis nntik ni
BalasHapus