Selasa, 14 Juni 2016

Memaknai Ramadhan Meraih Taqwa



Memaknai Ramadhan Meraih taqwa

Oleh : Jamani



Kaum muslimin sidang jumah rahima kumullah

Marilah kita senantiasa bersyukur atas segala karunia dan segala limpahan nikmat yang kita rasakan hingga saat ini, , disisa usia kita, allah dengan rahman dan rahimnya kita masih dipertemukan dengan ramadhan yang penuh berkah, bulan penuh kemuliaan dan bulan pengampunan.
 Sangat merugilah bagi yang menyia-nyiakannya. Rasulullah saw menegaskan, “barangsiapa berpuasa ramadhan karena iman dan mengharapkan pahala dari allah swt, niscaya allah mengampuni dosanya yang telah lalu. Dan barangsiapa melakukan amal ibadah tambahan (sunah) di bulan ramadhan karena iman dan mengharapkan pahala dari allah swt, maka ia akan diampuni dosanya yang telah lalu.” (H. Bukhari muslim).

Kaum muslimin sidang jum’ah rahima kumullah,

Melalui keutamaan bulan ramadhan ini “khatib mengajak khususnya pribadi dan seluruh jamaah, marilah kita selalu meningkatkan iman dan ketaqwaan kita kepada allah swt. Yakni melaksanakan perintahnya dan menjauhi segala larangannya.

Kaum muslimin sidang jum’ah rahima kumullah,

Hari ini kita sudah memasuki hari yang ke-5 untuk berpuasa dibulan yang penuh rahmat ini, ada dua hal yang kita garis bawahi yaitu istilah membatalkan dan mengurangi nilai pahala puasa.

1.         Membatalkan

Kita sering melihat banyak di antara kaum muslimin yang meremehkan kewajiban yang agung ini. Jika kita lihat di bulan ramadhan di jalan-jalan ataupun tempat-tempat umum, banyak saudara muslim tidak melakukan kewajiban ini atau sengaja membatalkannya. Padahal mereka kuat secara fisik mereka malah terang-terangan makan dan minum di tengah-tengah saudara mereka yang sedang berpuasa tanpa merasa berdosa sama sekali. Padahal mereka adalah orang-orang yang diwajibkan untuk berpuasa dan tidak punya halangan sama sekali. Mereka adalah orang-orang yang bukan sedang bepergian jauh, bukan sedang berbaring di tempat tidur karena sakit dan bukan pula orang yang sedang mendapatkan halangan haidh atau nifas. Mereka semua adalah orang yang mampu untuk berpuasa.
Dalam hal ini sebuah kisah dari sahabat abu umamah al bahili radhiyallahu ‘anhu. Beliau (abu umamah) menuturkan bahwa beliau mendengar rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,”ketika aku tidur, aku didatangi oleh dua orang laki-laki, lalu keduanya menarik lenganku dan membawaku ke gunung yang terjal. Keduanya berkata,”naiklah”. Lalu kukatakan,”sesungguhnya aku tidak mampu.” Kemudian keduanya berkata,”kami akan memudahkanmu”. Maka aku pun menaikinya sehingga ketika aku sampai di kegelapan gunung, tiba-tiba ada suara yang sangat keras. Lalu  aku bertanya,”suara apa itu?” Mereka menjawab,”itu adalah suara jeritan para penghuni neraka.”
Kemudian dibawalah aku berjalan-jalan dan aku sudah bersama orang-orang yang bergantungan pada urat besar di atas tumit mereka, mulut mereka robek, dan dari robekan itu mengalirlah darah. Kemudian aku (abu umamah) bertanya,”siapakah mereka itu?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,”mereka adalah orang-orang yang berbuka (membatalkan puasa) sebelum tiba waktunya.” (hr. An nasa’i dalam al kubra, sanadnya shahih. Lihat shifat shaum nabi, hal. 25).

Kedua, mengurangi nilai puasa,

Jika seseorang berniat ibadah puasa dimalam hari (sebelum fajar menyingsing), lalu ia meninggalkan segala hal yang dapat membatalkan puasanya, seperti makan, minum, dan berhubungan intim dengan istri, maka puasanya dapat dikatakan sah. Artinya, telah terlepas kewajiban berpuasa darinya. Namun apakah hal tersebut pasti membuahkan pahala?

Pada dasarnya, segala perkara yang sia-sia -apalagi maksiat- dapat merusak pahala puasa seseorang. Oleh karena itu, seyogyanya kita menghindarinya sekuat tenaga agar kita dapat meraih pahala yang sempurna dengan izin allah melalui puasa yang kita laksanakan. Atau paling tidak jangan sampai puasa kita –meskipun sah– tidak berbuah pahala, melainkan hanya mendapat lapar dan haus semata, na’uudzu billaah min dzalik. Diantara perkara-perkara tersebut adalah :

Berkata kotor, berteriak-teriak (bertengkar), bertindak bodoh, dan melakukan perkara yang sia-sia.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya), ”apabila seorang diantara kalian berpuasa maka janganlah ia berkata kotor, berteriak-teriak (bertengkar), dan bertindak bodoh. Jika ada orang yang mencela atau mengajaknya bertengkar maka katakanlah : ‘sesungguhnya aku sedang berpuasa (dua kali)’ ” (hr. Bukhari dan muslim)

Kemudian berkata dan melaksanakan kedustaan

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya), “barang siapa yang tidak meninggalkan ucapan dusta dan melakukan sesuatu dengan dasar kedustaan itu, maka tidak ada gunanya ia meninggalkan makanan dan minumannya itu disisi allah”(hr. Bukhari)
Mendengar, melihat, membicarakan, dan melalukan segala perkara yang diharamkan olehâ allah

Hikmah syariat yang tertinggi yang berada dibalik perintah puasa adalah agar seseorang dengan ibadah puasanya ini dapat menjadi hamba allah yang bertaqwa. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “wahai orang-orang yang beriman, telah diwajibkan atas kalian berpuasa, sebagaimana puasa juga telah diwajibkan atas umat-umat sebelum kalian, agar kalian menjadi orang-orang yang bertaqwa” (qs. Al baqarah : 183)

Banyak sekali orang yang ketika berpuasa dan ketika menunggu waktu berbuka yang penuh berkah, mereka tidak melewatinya dengan beramal sholeh dan melakukan hal-hal yang bermanfaat, namun justru menghabiskannya dengan sekian banyak perbuatan maksiat, baik yang diucapkan oleh lisan, seperti menggunjing orang (ghibah), mengadu domba sesama muslim (namimah), mencaci-maki orang, dan semisalnya, semua ini –tanpa keraguan sedikitpun– merusak nilai-nilai dan janji pahala puasa yang istimewa dari allah ta’ala dan merusak inti tujuan dan hikmah disyari’atkannya puasa itu sendiri, yaitu untuk meraih derajat taqwa.



Makan dan minum adalah perkara yang – pada asalnya – mubah dilakukan oleh orang yang tidak sedang berpuasa, namun ia menjadi haram dilakukan pada saat puasa, dan dapat membatalkan puasa. Akan tetapi bagaimana dengan perbuatan maksiat? Perbuatan maksiat kapan saja ia tetap haram, baik saat berpuasa ataupun tidak. Bahkan kemaksiatan yang merupakan keburukan ini akan semakin bertambah buruk jika dilakukan oleh seseorang yang sedang melaksanakan puasa, dibanding pada saat yang lainnya. Perbuatan maksiat itu dapat merusak keutuhan puasa dan dapat membatalkan pahala puasa yang telah dijanjikan allah ta’ala. Sebagaimana yang diisyaratkan oleh hadits nabawi diatas, ”apabila seorang diantara kalian berpuasa maka janganlah ia berkata kotor, berteriak-teriak (bertengkar), dan bertindak bodoh. Jika ada orang yang mencela atau mengajaknya bertengkar maka katakanlah : ‘sesungguhnya aku sedang berpuasa (dua kali)’ ” (hr. Bukhari dan muslim).

Dan hadits yang lain, “barang siapa yang tidak meninggalkan ucapan dusta dan melakukan sesuatu dengan dasar kedustaan itu, maka tidak ada gunanya ia meninggalkan makanan dan minumannya itu disisi allah”â (hr. Bukhari)
Demikianlah khutbah singkat ini, marilah kita berusaha melaksanakan puasa ini sesuai dengan hikmah tertinggi puasa itu sendiri, yaitu agar dapat menjadi hamba allah ta’ala yang bertaqwa kepada allah ta’ala dengan sebenar-benar taqwa, yaitu dengan cara mengikhlaskan ibadah puasa hanya untuk allah ta’ala dan menjalankan sesuai dengan tuntunan rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta meninggalkan segala hal yang dapat merusak nilai dan pahala puasa kita tahun ini.

0 comments:

Posting Komentar