Pengalaman menunjukkan bahwa ruh tidak lain adalah kesadaran

Siapapun yang memiliki kesadaran lebih besar memiliki semangat yang lebih besar; Ketika semangat menjadi lebih besar dan melampaui semua batas, roh segala sesuatu menjadi patuh padanya Jalaludin Rumi

Jumat, 23 Mei 2014

RE-ORIENTASI DAN DE-STRUKTURALISME ISRA’ MI’RAJ DALAM UPAYA PENEGUHAN NILAI-NILAI TAUHID MENUJU MASYARAKAT KAYONG UTARA YANG MARDHOTILLAH”




Dalam konteks perkembangan Islam di Indonesia, Isra’ Mi’raj tampaknya mulai terkontaminasi dengan strukturalisme-nya Levi Strauss yang selalu cenderung kepada kontinuitas belaka bukan lagi sebagai ajang refleksi diri untuk pencerahan (aufklarung) tetapi hanya sebagai warisan dari sejarah yang harus diperingati jika tanggal di kalender sudah merah. Hal seperti ini harusnya menjadi perhatian kita demi sebuah pencapaian  makna yang terkandung dalam Isra’ Mi’raj. Makna yang terkandung dalam Isra’ Mi’raj yakni suatu proses yang diharapkan bisa melahirkan nilai (values) dan kontribusi bagi diri sendiri dan umat manusia. Proses yang dimaksudkan dalam Isra’ Mi’raj yakni sholat, sholat yang ideal bagi manusia adalah sebuah proses penyadaran manusia untuk selalu bercermin kepada Al Qur’an dan Hadits sehingga bisa memaksimalkan hidup secara Vertikal dan horizontal.
”Maha Suci Allah yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha yang telah Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar Lagi Maha Melihat” (QS. 17:10). 

Dari ayat tadi bisa dilihat bahwa Allah memerintahkan kepada Muhammad untuk melihat realitas yang ada, yakni dia hanya seorang hamba yang perlu proses pencapaian akan sebuah nilai (values) kebenaran mutlak dengan berbagai cara diantaranya sholat. Setelah menjalankan proses tersebut diperlukan suatu review (peninjauan kembali atas diri) apakah sudah mengarah ke pencapaian tersebut atau malah mundur dari pencapaian tersebut.
 “Orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tentram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah – lah hati menjadi tentram”. (QS. 13:28).

Dengan ayat tadi bisa kita lihat pentingnya sebuah proses review akan nilai-nilai kehidupan kita.
Semoga Refleksi Isra’ Mi’raj ini bisa memberikan kontribusi penting bagi kita sehingga bisa membekali diri kita dalam memperlancar komunikasi diantara kita yang selama ini membeku karena kekurangan kita sebagai hamba-Nya.

Rabu, 19 Maret 2014

Mengenal Sosok Ulama Sebagai Pewaris Nabi (Catatan-Kritis; Eksistensi MUI Kabupaten Kayong Utara)




 Mengenal Sosok Ulama Sebagai Pewaris Nabi 
 (Catatan-Kritis; Eksistensi MUI Kabupaten Kayong Utara)

 oleh : Jamani

Berbicara “ulama” pada umumnya dikenal sebagai sosok; tokoh agama, kiai, da’i, ustadz yaitu orang yang berilmu tinggi di bidang agama (baca; Islam). Sedangkan perkumpulan para ulama di Indonesia dikenal Majelis Ulama Indonesia (MUI) dari tingkat pusat sampai daerah. Sebuah Lembaga yang mampu membuat suatu ketentuan produk hukum melalui Ijma’ (baca; kesepakatan para ulama) yang lebih populis produknya dikenal istilah “Fatwa”. Terlepas dari hasil produk hukum tersebut dan menghindari luasnya tulisan ini, maka penulis hanya membatasi pada pertanyaan siapakah ulama itu ? mengapa disebut pewaris Nabi ? Bagaimana ulama masa kini ? selain itu tulisan ini juga untuk ditujukan sebagai sekedar catatan terhadap  eksistensi MUI Kabupaten Kayong Utara yang sebentar lagi akan melaksanakan musyawarah daerah yang “diklaim” mampu membawa kemajuan dan mewujudkan cita-cita umat Islam Kayong Utara kepada peradaban masyarakat yang bertaqwa dan berakhlaqul Karimah. Amin Ya robbal ‘alamin.
Siapakah Ulama’ itu ?
Ulama' secara etimologi (bahasa) adalah orang orang yang mengetahui. Kata ulama'” adalah kalimat jama' dari 'aalim        ada yang berpendapat bukan dari  'aalim akan tetapi dari 'aliim        adalah isim fail mubalaghah berarti sangat mengetahui. Sedangkan pengertian ulama' secara terminologi (istilah) adalah orang yang memiliki ilmu pengetahuan yang mendalam mengenai al-Qur’an dan al-Hadits dan menerapkannya dalam kehidupannya. Selain itu Ulama' adalah orang mengetahui al-Qur’an (baik bacaannya maupun kandungannya) dan mengajarkannya. Kemudian Ulama' juga diartikan orang yang mendapat ilmu Rasulullah SAW dan setiap harinya di sibukkan dengan ilmunya seperti bertabligh, mengajar dan mengarang Kitab (lihat. http://mughist-sumberilmu.blogspot.com).
Menurut  penulis pada dasarnya bahwa defenisi (batasan) ulama adalah orang yang memiliki kapasitas keilmuan yang memadai dalam bidangnya (baca; agama Islam) dan juga menguasai bidang lainnya. seorang ulama juga harus mengamalkan ilmunya di dalam kehidupan nyata.  Dengan kata lain bukan hanya “pandai beretorika indah dan menarik” tetapi lebih dari itu.
Menurut Imam al-Ghazali dalam Moqsith (2010:50) di dalam kitab “Ihya Ulumuddin” menjelaskan bahwa ulama ada dua, yaitu ulama su’ (ulama yang buruk) dan ulama husn (ulama yang baik). Jika dilihat dari pembagian ini, ulama’ su’ dapat dipahami bahwa tokoh yang bergelar ulama tetapi jiwanya bukan ulama atau dengan istilah lain ulama sekedar kulitnya saja. Ulama seperti ini sebenarnya bukanlah ulama, tetapi hanya gelar atau pengakuan saja, karena ulama bukan gelar atau klaim tetapi “uswatun hasanah” sebagai warisan yang sangat mulia dari para Nabi.




Ulama sebagai Pewaris Nabi
Nabi Muhammad SAW bersabda “..al-Ulamaau warasatul anbiaa” ulama adalah pewaris nabi. Ulama' adalah orang yang mendapatkan kedudukan yang sangat tinggi setelah para Nabi dan Rasul. Secara eksplisit hadits ini dapat mengangkat derajat para tokoh agama disebut ulama; bangga mendapat gelar ulama. Namun secara implisit merupakan suatu amanah yang berat untuk dilakukan oleh seorang ulama saat ini. Sebut saja, mampukah seorang ulama mengurbankan seluruh kehidupannya untuk menyampaikan perintah Allah dan risalah para nabi-nabi  kepada manusia. Meskipun manusia itu membantah,  mampukah ulama mewarisi apa yang disifati oleh para nabi. Mampukah ulama mengalami ujian apa yang dialami para  Nabi-Nabi Allah, mampukah  para ulama saat ini menghadapi segala persoalan ummat dengan solusi yang tepat. Tentu jawabannya penuh tanda tanya (?).
Dalam hal ini penulis kutip sebuah artikel yang ditulis Prof. Dr Buya Hamka (1908-1981) kurang lebih 61 tahun silam dengan judul “Ulama Waris Anbiaa”. Menurut penulis bahwa tulisan ini sangat relevan untuk dijadikan sebagai spirit perjuangan seorang Ulama dan eksistensinya sebagai koreksi terhadap “klaim” “aku adalah ulama’. Beliau mengemukakan dengan tegas bahwa ..”Siapa yang berani! Siapa yang berani mewarisi pekerjaan Nabi Muhammad SAW; 13 tahun di Mekah, 10 tahun di Madinah, menghadapi berhala, menuhankan pangkat dan kebesaran, harta, dan kemewahan. Menegakkan suatu keyakinan “tidada Tuhan Selain Allah”, dengan itu ia hidup dan dengan itu ia mati. Hendak dibunuh, diusir, dan kalau telah kuat berani berperang melawan kebenaran dan keyakinan itu. Sholat dengan taat, bangun tengah malam; dan paginya menyandang pedang dan menentang musuh. Tidak peduli berapa gandanya musuh, sebab perjuangan itu senantiasa terus menang. Kalau ia hidup ialah berbakti dan ia mati adalah syahid. Yang benar hanya satu ialah kebenaran Allah ! yang lain bohong semata ! siapa yang berani begitu !
Dalam artikel tersebut menyimpulkan bahwa Ulama warasatul anbiaa tetaplah istiqomah menegakkan kebenaran walaupun golongannya sedikit. Berani amar-ma’ruf , Nahi Munkar walaupun seruan itu mulanya serupa dengan air jatuh ke pasir. Berani menegakkan kalimat yang haq ditengah-tengah yang bathil; keberanian itu saja sudahlah suatu kemenangan (Tamar Djaja dan Anwar Rasjid; 1953: 11).
Diakui penulis, bahwa pada dasarnya memang konsep tersebut merupakan “ulama ideal”. Ulama yang tidak mudah ditemukan dan dirasakan saat ini, sebagaimana yang dijelaskan Imam al-Ghazali dalam Kitabnya “ihya Ulumuddin” yaitu ulama yang baik haruslah memiliki kriteria ‘alim, zuhud, wara’, dan faqih. (1) Alim yaitu memiliki kapasitas keilmuan yang memadai dalam agamanya; (2) Zuhud yakni tidak memiliki nafsu duniawi untuk memperkaya diri; (3) wara, menghindari hal-hal yang subhat, apalagi yang haram; dan (4) faqih, yaitu memahami ilmu kemasyarakatan dan kondisi sosialnya (lihat Sutrisno Muslimin, 2011: 50).
Secara konsep ulama yang telah memenuhi kriteria di atas merupakan ulama yang dapat dijadikan sebagai teladan. Sebagai catatan bahwa seorang ulama yang ideal bukan hanya sekedar mumpuni di dalam ilmu-ilmu keagamaan, tetapi juga mengerti kondisi masyarakatnya, seperti para Nabi-Nabi yang memiliki sejumlah keahlian dibidangnya masing-masing. Seperti Nabi Nuh seorang arsitek, Nabi Isa As seorang tabib (dokter);  Muhammad sebagai wirausaha dan para Nabi-Nabi lainnya. Ketika semua itu ada pada diri seseorang maka sangat pantas ia menyandang “Ulama” sebagai “pewaris Nabi”.





Ulama masa kini
Berbicara ulama saat ini, seperti yang dijelaskan sebelumnya bahwa “ulama ideal” saat ini sulit ditemukan, kenapa? lihat saja betapa banyak kita perhatikan, seseorang yang disebut ulama, pada umumnya  kerap kali dipermainkan untuk kepentingan kelompok tertentu, bahkan untuk kepentingan pribadi. Pada hal seorang ulama seharusnya lebih bijaksana melalui keilmuan dan kesholehannya yang selalu bersandar kepada Al-Qur’anul Karim dan al-Hadits. Seorang ulama masa kini harus berani menyatakan mana yang hak dan bathil (lihat Q.S al-A’raf: 175-177).
Jika kita kembali menengok pada sejarah tokoh di Indonesia, banyak sosok ulama kita yang zahid, alim, wara, dan faqih. Mereka dimasa hidupnya digelar ulama karena perjuangannya dalam menegakkan kebenaran dan banyak berbuat ‘nyata’ bahkan sanggup menantang penguasa dimasanya seperti H. Abdul Karim Amrullah , Buya Hamka, KH. Hasyim As’ary, KH. Ahmad Dahlan, Basiuni Imran (Kal-Bar), Syaikh Muhammad Arsyad al-Banjari (Kalsel) dan lain sebagainya.
Namun apa yang terjadi ulama saat ini, sangat bertitik tolak belakang dengan Sabda Rasulullah SAW: “Ulama yang buruk adalah sering mengunjungi penguasa, sementara penguasa yang paling baik adalah sering mengunjungi ulama” (H.R Ibnu Majah).
Marilah kita selalu berdoa semoga ulama-ulama masa kini berada di dalam petunjuk Allah, tetap berkomitmen untuk menegakkan nilai-nilai dasar Islam, menegakkan keadilan serta menekankan pentingnya kesejahteraaan dan kemashlahatan umat manusia. Rasulullah bersabda “Allah tidak mencabut ilmu pengetahuan dari permukaan bumi begitu saja, melainkan dengan mematikan para ulama”.
Kesimpulan
Berangkat dari beberapa pendapat tersebut bahwa ulama bukan sekedar sebutan; nama atau  klaim, tetapi esensialnya adalah berbuat (action) untuk kepentingan umat sesuai konteks persoalan yang dihadapi ummat. Selain itu gelar ulama bukan alat untuk kepentingan pribadi atau kelompok semata, bukan perkumpulan yang hanya dibentuk; dilantik, dan mendapat surat keterangan. Dengan kata lain ulama harus banyak “praktik” daripada retorika.
Kemudian ulama sebagai pewaris Nabi adalah seseorang  yang berani; sanggup menjalankan amanah untuk mewarisi apa yang diperbuat oleh para Nabi untuk kebaikan ummat. Selain itu seorang ulama tidak hanya sekedar mumpuni di bidang agama saja, tetapi lebih dari itu. Mampu memiliki kemampuan di bidang-bidang sosial lainnya sehingga kompeten memberikan solusi tepat untuk perbaikan ummat.
Ulama masa kini, sebaiknya berusaha lebih keras dan menciptakan produk metode-metode pendekatan stategis untuk perbaikan ummat sebagai bukti amar-ma’ruf nahi munkar” bukan hanya berbicara tentang fatwa, kedudukan, jabatan dan peluang. Seorang ulama masa kini harus melihat secara nyata persoalan yang terjadi di masyarakat. Seperti misalnya masjid sering kosong, maraknya pergaulan bebas bagi para remaja, hilangya budaya malu, perzinahan, Narkoba, perjudian, Miras di mana-mana, generasi jauh dari Qur;an, dan masih banyak persoalan-persoalan ummat yang harus diperankan oleh seorang ulama.
Harapan penulis, semoga dengan adanya wadah organisasi Islam yang akan dilantik nantinya, kembali kepada fikroh “perjuangan”dan “pengabdian”.  Selain itu juga melalui wadah tersebut (baca; MUI) dapat memberikan sedikit (minimal) kontribusi kepada perbaikan sekelumit permasalahan ummat khusunya di Kabupaten Kayong Utara. Yakni Bersedia, Sanggup mengorbakan segala fikiran, tenaga, dan waktunya secara nyata dengan selalu menjunjung tinggi kebenaran al-Qur’an dan al-Hadits. Wallahu’alam bisawwab.