Pengalaman menunjukkan bahwa ruh tidak lain adalah kesadaran

Siapapun yang memiliki kesadaran lebih besar memiliki semangat yang lebih besar; Ketika semangat menjadi lebih besar dan melampaui semua batas, roh segala sesuatu menjadi patuh padanya Jalaludin Rumi

Rabu, 19 Maret 2014

Mengenal Sosok Ulama Sebagai Pewaris Nabi (Catatan-Kritis; Eksistensi MUI Kabupaten Kayong Utara)




 Mengenal Sosok Ulama Sebagai Pewaris Nabi 
 (Catatan-Kritis; Eksistensi MUI Kabupaten Kayong Utara)

 oleh : Jamani

Berbicara “ulama” pada umumnya dikenal sebagai sosok; tokoh agama, kiai, da’i, ustadz yaitu orang yang berilmu tinggi di bidang agama (baca; Islam). Sedangkan perkumpulan para ulama di Indonesia dikenal Majelis Ulama Indonesia (MUI) dari tingkat pusat sampai daerah. Sebuah Lembaga yang mampu membuat suatu ketentuan produk hukum melalui Ijma’ (baca; kesepakatan para ulama) yang lebih populis produknya dikenal istilah “Fatwa”. Terlepas dari hasil produk hukum tersebut dan menghindari luasnya tulisan ini, maka penulis hanya membatasi pada pertanyaan siapakah ulama itu ? mengapa disebut pewaris Nabi ? Bagaimana ulama masa kini ? selain itu tulisan ini juga untuk ditujukan sebagai sekedar catatan terhadap  eksistensi MUI Kabupaten Kayong Utara yang sebentar lagi akan melaksanakan musyawarah daerah yang “diklaim” mampu membawa kemajuan dan mewujudkan cita-cita umat Islam Kayong Utara kepada peradaban masyarakat yang bertaqwa dan berakhlaqul Karimah. Amin Ya robbal ‘alamin.
Siapakah Ulama’ itu ?
Ulama' secara etimologi (bahasa) adalah orang orang yang mengetahui. Kata ulama'” adalah kalimat jama' dari 'aalim        ada yang berpendapat bukan dari  'aalim akan tetapi dari 'aliim        adalah isim fail mubalaghah berarti sangat mengetahui. Sedangkan pengertian ulama' secara terminologi (istilah) adalah orang yang memiliki ilmu pengetahuan yang mendalam mengenai al-Qur’an dan al-Hadits dan menerapkannya dalam kehidupannya. Selain itu Ulama' adalah orang mengetahui al-Qur’an (baik bacaannya maupun kandungannya) dan mengajarkannya. Kemudian Ulama' juga diartikan orang yang mendapat ilmu Rasulullah SAW dan setiap harinya di sibukkan dengan ilmunya seperti bertabligh, mengajar dan mengarang Kitab (lihat. http://mughist-sumberilmu.blogspot.com).
Menurut  penulis pada dasarnya bahwa defenisi (batasan) ulama adalah orang yang memiliki kapasitas keilmuan yang memadai dalam bidangnya (baca; agama Islam) dan juga menguasai bidang lainnya. seorang ulama juga harus mengamalkan ilmunya di dalam kehidupan nyata.  Dengan kata lain bukan hanya “pandai beretorika indah dan menarik” tetapi lebih dari itu.
Menurut Imam al-Ghazali dalam Moqsith (2010:50) di dalam kitab “Ihya Ulumuddin” menjelaskan bahwa ulama ada dua, yaitu ulama su’ (ulama yang buruk) dan ulama husn (ulama yang baik). Jika dilihat dari pembagian ini, ulama’ su’ dapat dipahami bahwa tokoh yang bergelar ulama tetapi jiwanya bukan ulama atau dengan istilah lain ulama sekedar kulitnya saja. Ulama seperti ini sebenarnya bukanlah ulama, tetapi hanya gelar atau pengakuan saja, karena ulama bukan gelar atau klaim tetapi “uswatun hasanah” sebagai warisan yang sangat mulia dari para Nabi.




Ulama sebagai Pewaris Nabi
Nabi Muhammad SAW bersabda “..al-Ulamaau warasatul anbiaa” ulama adalah pewaris nabi. Ulama' adalah orang yang mendapatkan kedudukan yang sangat tinggi setelah para Nabi dan Rasul. Secara eksplisit hadits ini dapat mengangkat derajat para tokoh agama disebut ulama; bangga mendapat gelar ulama. Namun secara implisit merupakan suatu amanah yang berat untuk dilakukan oleh seorang ulama saat ini. Sebut saja, mampukah seorang ulama mengurbankan seluruh kehidupannya untuk menyampaikan perintah Allah dan risalah para nabi-nabi  kepada manusia. Meskipun manusia itu membantah,  mampukah ulama mewarisi apa yang disifati oleh para nabi. Mampukah ulama mengalami ujian apa yang dialami para  Nabi-Nabi Allah, mampukah  para ulama saat ini menghadapi segala persoalan ummat dengan solusi yang tepat. Tentu jawabannya penuh tanda tanya (?).
Dalam hal ini penulis kutip sebuah artikel yang ditulis Prof. Dr Buya Hamka (1908-1981) kurang lebih 61 tahun silam dengan judul “Ulama Waris Anbiaa”. Menurut penulis bahwa tulisan ini sangat relevan untuk dijadikan sebagai spirit perjuangan seorang Ulama dan eksistensinya sebagai koreksi terhadap “klaim” “aku adalah ulama’. Beliau mengemukakan dengan tegas bahwa ..”Siapa yang berani! Siapa yang berani mewarisi pekerjaan Nabi Muhammad SAW; 13 tahun di Mekah, 10 tahun di Madinah, menghadapi berhala, menuhankan pangkat dan kebesaran, harta, dan kemewahan. Menegakkan suatu keyakinan “tidada Tuhan Selain Allah”, dengan itu ia hidup dan dengan itu ia mati. Hendak dibunuh, diusir, dan kalau telah kuat berani berperang melawan kebenaran dan keyakinan itu. Sholat dengan taat, bangun tengah malam; dan paginya menyandang pedang dan menentang musuh. Tidak peduli berapa gandanya musuh, sebab perjuangan itu senantiasa terus menang. Kalau ia hidup ialah berbakti dan ia mati adalah syahid. Yang benar hanya satu ialah kebenaran Allah ! yang lain bohong semata ! siapa yang berani begitu !
Dalam artikel tersebut menyimpulkan bahwa Ulama warasatul anbiaa tetaplah istiqomah menegakkan kebenaran walaupun golongannya sedikit. Berani amar-ma’ruf , Nahi Munkar walaupun seruan itu mulanya serupa dengan air jatuh ke pasir. Berani menegakkan kalimat yang haq ditengah-tengah yang bathil; keberanian itu saja sudahlah suatu kemenangan (Tamar Djaja dan Anwar Rasjid; 1953: 11).
Diakui penulis, bahwa pada dasarnya memang konsep tersebut merupakan “ulama ideal”. Ulama yang tidak mudah ditemukan dan dirasakan saat ini, sebagaimana yang dijelaskan Imam al-Ghazali dalam Kitabnya “ihya Ulumuddin” yaitu ulama yang baik haruslah memiliki kriteria ‘alim, zuhud, wara’, dan faqih. (1) Alim yaitu memiliki kapasitas keilmuan yang memadai dalam agamanya; (2) Zuhud yakni tidak memiliki nafsu duniawi untuk memperkaya diri; (3) wara, menghindari hal-hal yang subhat, apalagi yang haram; dan (4) faqih, yaitu memahami ilmu kemasyarakatan dan kondisi sosialnya (lihat Sutrisno Muslimin, 2011: 50).
Secara konsep ulama yang telah memenuhi kriteria di atas merupakan ulama yang dapat dijadikan sebagai teladan. Sebagai catatan bahwa seorang ulama yang ideal bukan hanya sekedar mumpuni di dalam ilmu-ilmu keagamaan, tetapi juga mengerti kondisi masyarakatnya, seperti para Nabi-Nabi yang memiliki sejumlah keahlian dibidangnya masing-masing. Seperti Nabi Nuh seorang arsitek, Nabi Isa As seorang tabib (dokter);  Muhammad sebagai wirausaha dan para Nabi-Nabi lainnya. Ketika semua itu ada pada diri seseorang maka sangat pantas ia menyandang “Ulama” sebagai “pewaris Nabi”.





Ulama masa kini
Berbicara ulama saat ini, seperti yang dijelaskan sebelumnya bahwa “ulama ideal” saat ini sulit ditemukan, kenapa? lihat saja betapa banyak kita perhatikan, seseorang yang disebut ulama, pada umumnya  kerap kali dipermainkan untuk kepentingan kelompok tertentu, bahkan untuk kepentingan pribadi. Pada hal seorang ulama seharusnya lebih bijaksana melalui keilmuan dan kesholehannya yang selalu bersandar kepada Al-Qur’anul Karim dan al-Hadits. Seorang ulama masa kini harus berani menyatakan mana yang hak dan bathil (lihat Q.S al-A’raf: 175-177).
Jika kita kembali menengok pada sejarah tokoh di Indonesia, banyak sosok ulama kita yang zahid, alim, wara, dan faqih. Mereka dimasa hidupnya digelar ulama karena perjuangannya dalam menegakkan kebenaran dan banyak berbuat ‘nyata’ bahkan sanggup menantang penguasa dimasanya seperti H. Abdul Karim Amrullah , Buya Hamka, KH. Hasyim As’ary, KH. Ahmad Dahlan, Basiuni Imran (Kal-Bar), Syaikh Muhammad Arsyad al-Banjari (Kalsel) dan lain sebagainya.
Namun apa yang terjadi ulama saat ini, sangat bertitik tolak belakang dengan Sabda Rasulullah SAW: “Ulama yang buruk adalah sering mengunjungi penguasa, sementara penguasa yang paling baik adalah sering mengunjungi ulama” (H.R Ibnu Majah).
Marilah kita selalu berdoa semoga ulama-ulama masa kini berada di dalam petunjuk Allah, tetap berkomitmen untuk menegakkan nilai-nilai dasar Islam, menegakkan keadilan serta menekankan pentingnya kesejahteraaan dan kemashlahatan umat manusia. Rasulullah bersabda “Allah tidak mencabut ilmu pengetahuan dari permukaan bumi begitu saja, melainkan dengan mematikan para ulama”.
Kesimpulan
Berangkat dari beberapa pendapat tersebut bahwa ulama bukan sekedar sebutan; nama atau  klaim, tetapi esensialnya adalah berbuat (action) untuk kepentingan umat sesuai konteks persoalan yang dihadapi ummat. Selain itu gelar ulama bukan alat untuk kepentingan pribadi atau kelompok semata, bukan perkumpulan yang hanya dibentuk; dilantik, dan mendapat surat keterangan. Dengan kata lain ulama harus banyak “praktik” daripada retorika.
Kemudian ulama sebagai pewaris Nabi adalah seseorang  yang berani; sanggup menjalankan amanah untuk mewarisi apa yang diperbuat oleh para Nabi untuk kebaikan ummat. Selain itu seorang ulama tidak hanya sekedar mumpuni di bidang agama saja, tetapi lebih dari itu. Mampu memiliki kemampuan di bidang-bidang sosial lainnya sehingga kompeten memberikan solusi tepat untuk perbaikan ummat.
Ulama masa kini, sebaiknya berusaha lebih keras dan menciptakan produk metode-metode pendekatan stategis untuk perbaikan ummat sebagai bukti amar-ma’ruf nahi munkar” bukan hanya berbicara tentang fatwa, kedudukan, jabatan dan peluang. Seorang ulama masa kini harus melihat secara nyata persoalan yang terjadi di masyarakat. Seperti misalnya masjid sering kosong, maraknya pergaulan bebas bagi para remaja, hilangya budaya malu, perzinahan, Narkoba, perjudian, Miras di mana-mana, generasi jauh dari Qur;an, dan masih banyak persoalan-persoalan ummat yang harus diperankan oleh seorang ulama.
Harapan penulis, semoga dengan adanya wadah organisasi Islam yang akan dilantik nantinya, kembali kepada fikroh “perjuangan”dan “pengabdian”.  Selain itu juga melalui wadah tersebut (baca; MUI) dapat memberikan sedikit (minimal) kontribusi kepada perbaikan sekelumit permasalahan ummat khusunya di Kabupaten Kayong Utara. Yakni Bersedia, Sanggup mengorbakan segala fikiran, tenaga, dan waktunya secara nyata dengan selalu menjunjung tinggi kebenaran al-Qur’an dan al-Hadits. Wallahu’alam bisawwab.

Kamis, 30 Januari 2014

Memaknai Akhir Rabiul Awal dengan Memperbanyak Sholawat Rasulullah SAW

Memaknai Akhir Rabiul Awal dengan Memperbanyak Sholawat Rasulullah SAW
Oleh : Jamani, S.Pd.I
Alhamdulillah, marillah kita banyak bersyukur kepada Allah SWT atas segala karunianya kepada  kita semua. Sehingga kita dapat hadir bersama-sama di masjid yang kita cintai ini dalam keimanan dan Ketaqwaan Kepada Allah SWT.
Shalawat dan salam kita persembahkan kepada ikutan kita Nabi Muhammad SAW yang membawa umatnya dari kegelapan kepada terang benderang, dari kesengsaraan kepada kesuksesan, sukses dunia sukses akhirat,
Jemaah Jum’at Rahima Kumullah
Sebelum Khatib Menyampaikan Isi Khutbah marilah kita bersama-sama selalu tunduk dan taat kepada Apa yang di wasiatkan kepada kita Al-Qur’an dan al-Hadits yang selalu menuntun kita menjadi Insan yang Taqwa. Yakni Menjalankan apa yang di Cintai Allah dan Rasul, meninggalkan apa yang dibenci Allah dan Rasul-Nya.
Jemaah Jum’at Rahima Kumullah
Pada hari ini kita berada di Akhir Bulan  29 Rabiul Awal 1435 H. Bulan yang penuh Makna, dimulai tanggal 1 Rabiul awal jatuh pada hari Jum’at dan dikahiri 29 Rabiul Awal juga hari Jum’at. Tentunya ada makna bukan suatu kebetulan tapi sudah ditetapkan di lauh Mahfuz seperti Allah menetapkan Hari, bulan, Tahun kita lahir dan kita meninggal Dunia.
Bagi kamu yang berfikir tentu ini ada makna dan Hikmah untuk kita renungkan Bersama.
Jemaah Jum’at Rahima Kumullah
Berkenaan dengan bulan Rabiul Awal kita diingatkan pada peristiwa Besar sejarah Umat Islam MAULID (Kelahiran NABi, HIJRIYAHnya Nabi dari Mekah Ke Madinah, Peristiwa Badar Kemenangan yang luar Biasa, dan terakhir Wafatnya Beliau. Marilah kita sejenak merenungkan dan mengambil Hikmah dibalik Kisah tentang Keutamaan Di Bulan Rabiul Awal yang hari ini akan berakhir.

Jemaah Jum’at Rahima Kumullah
Bulan Rabi’ul Awal merupakan bulan yang sangat mulia bagi kaum muslimin yang Berfikir. Di bulan inilah terlahir seorang yang sangat dibanggakan dan dicintai oleh umat islam di seluruh dunia.  Dia membawa wahyu Allah SWT untuk menyelamatkan umatnya dari kegelapan dunia menuju ke jalan yang terang benderang sebagai bekal untuk ke akherat nanti. Dialah Rasulullah “Muhammad SAW”. Seorang yang sangat menyayangi kita sebagai umatnya hingga di akhir hayatnyapun mengucapkan “Umatku…umatku…UmatKu”. Dialah satu-satunya yang dapat memberi syafa’at di hari Kiamat. Dialah yang bersujud kepada Allah SWT untuk umatnya dan berkata Ana Laha…Ana Lahaa..“  sehingga Allahpun berkata: ” Irfa’ yaa Muhammad…Isyfa’ tusyaffa’…?” .

Di bulan inilah Rasul kita Muhammad SAW dilahirkan, akan tetapi mungkin terlintas dalam pikiran kita sebuah pertanyaan: “Mengapa Rasulullah SAW tidak dilahirkan di bulan lain yang lebih barakah? Mengapa tidak dilahirkan di bulan  lain seperti Ramadhan, dimana Allah SWT menurunkan Al-Qur’an dan dihiasi dengan Lailatul Qadar? Atau disalah satu dari bulan-bulan haram lainnya seperti Dzulhijjah, Dzulqa’dah, Muharram atau Rajab (Asyhur Alhurum) yang telah diagungkan oleh Allah SWT dimana di situ diciptakan langit dan juga bumi? Atau di bulan Sya’ban dimana di situ terletak malam Nishfu Sya’ban  ? Mengapa dilahirkan di hari senin bulan Rabi’ul Awal?
Lahirnya Rasulullah SAW di hari senin tanggal dua belas Rabi’ul Awal bukanlah suatu kebetulan atau tanpa hikmah dan faidah tertentu. Akan tetapi di situ terdapat hikmah tersendiri yang jika kita meyakininya, niscaya akan menambah   kecinta’a kita kepada Rasululullah SAW

Jemaah Jum’at Rahima Kumullah
Lahirnya Rasulullah SAW dibulan Rabi’ merupakan isyarat yang sangat jelas bagi orang yang cerdas dan mengerti tentang asal mula kalimat Rabi’ , yaitu bahwa dalam kalimat tersebut terdapat makna optimis atas datangnya sang pembawa  kabar gembira bagi umatnya.





Jemaah Jum’at Rahima Kumullah
Kelahiran Nabi Muhammad SAW di bulan ini adalah sebagai isyarat yang sangat nyata dari sang pencipta agar kita mengagungkan dan memujinya karena ketinggian martabat Rasul SAW. Dimana beliau adalah sebagai pembawa kabar gembira bagi semua yang ada di alam semesta, serta rahmat bagi mereka dari berbagai kehancuran dan ketakutan di dunia dan di akherat. Sebagian dari Rahmat Allah SWT yang paling agung yaitu anugrah Allah SWT kepada Rasulullah SAW untuk memberikan hidayah bagi umat islam menuju jalan yang lurus. Sebagai mana dalam firman Allah SWT :
 (وَإِنَّكَ لَتَهْدِي إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ ) [ الشورى : 52] .
Sesungguhnya kamu benar-benar meberi petunjuk kepada jalan yang lurus”.
SAW di bulan Rabi’ul Awal, agar bulan ini menjadi mulia dan tampak bersinar terang.  Dalam sebuah Sya’ir dikatakan:

 “Karenamu wahai Muhammad, Allah SWT memberi kabar gembira kepada langit hingga diapun berhias.
dan karenamulah, debu-debu kotor menjadi berbau Harum”.
“Hari dimana dalam keada’an  bingung di sebuah zaman, sorenya menjadi terang, di karenakan datangnya  Muhammad”.

 Di bulan ini setiap Muslim disunahkan untuk memperbanyak shalawat serta salam untuk Rasulullah SAW. Karena di bulan yang mulia ini telah tampak kebaikan yang merata kepada seluruh alam, telah tampak pula kebahagia'an orang-orang yang paling bahagia dengan terbitnya bulan penerang bumi, yaitu lahirnya Nabi Muhammad SAW di dunia ini. dengan lahirnya Rasulullah di bulan ini, dikenanglah bulan Rabi'ul Awal sebagai hari yang paling penting bagi umat islam, oleh karena itu bulan ini dijadikan sebagai hari berkumpulnya umat islam memperbanyak Sholawat kepada Nabi, agar kita memperoleh barakah dan keutama'an yang suci. 
Jemaah Jum’at Rahima Kumullah
Untuk mengakhiri Khutbah ini, Khatib paparkan beberapa keutamaan Sholawat dan Manfaat Bersholawat kepada Nabi berdasarkan Ibnul Qoyyim :
di antaranya adalah sebagai berikut:
1.      Melaksanakan perintah Allah subhaanahu wa ta’aala
2.      Mendapatkan sepuluh sholawat dari Allah bagi yang membaca sholawat satu kali.
3.      Ditulis baginya sepuluh kebaikan dan dihapus darinya sepuluh kejahatan.
4.      Diangkat baginya sepuluh derajat.
5.      Kemungkinan doanya terkabul bila ia mendahuluinya dengan sholawat, dan doanya akan naik menuju kepada Tuhan semesta alam.
6.      Penyebab mendapatkan syafa’at sollallohu ‘alaihi wa sallam bila diiringi oleh permintaan wasilah untuknya atau tanpa diiringi olehnya.
7.      Penyebab mendapatkan pengampunan dosa.
8.      Dicukupi oleh Allah apa yang diinginkannya.
9.      Mendekatkan hamba dengan nabi sollallohu ‘alaihi wa sallam pada hari kiamat.
10.   Menyebabkan Allah dan malaikat-Nya bersholawat untuk orang yang bersholawat.
11.   Nabi sollallohu ‘alaihi wa sallam menjawab sholawat dan salam orang yang bersholawat untuknya.
12.   Mengharumkan majelis dan agar ia tidak kembali kepada keluarganya dalam keadaan menyesal pada hari kiamat.
13.   Menghilangkan kefakiran.
14.   Menghapus predikat “kikir” dari seorang hamba jika ia bersholawat untuk nabi sollallohu ‘alaihi wa sallam ketika namanya disebut.
15.   Orang yang bersholawat akan mendapatkan pujian yang baik dari Allah di antara penghuni langit dan bumi, karena orang yang bersholawat, memohon kepada Allah agar memuji, menghormati dan memuliakan rasul-Nya, maka balasan untuknya sama dengan yang ia mohonkan, maka hasilnya sama dengan apa yang diperoleh oleh rasul-Nya.
16.   Akan mendapatkan berkah pada dirinya, pekerjaannya, umurnya dan kemaslahatannya, karena orang yang bersholawat itu memohon kepada Tuhannya agar memberkati nabi-Nya dan keluarganya, dan doa ini terkabul dan balasannya sama dengan permohonannya.
17.   Nama orang yang bersholawat itu akan disebutkan dan diingat di sisi Rasul
sollallohu ‘alaihi wa sallam seperti penjelasan terdahulu, sabda Rasul:
“Sesungguhnya sholawat kalian akan diperdengarkan kepadaku.”

Sabda beliau yang lain: “Sesungguhnya Allah mewakilkan malaikat di kuburku yang
menyampaikan kepadaku salam dari umatku.”
Dan cukuplah seorang hamba mendapatkan kehormatan bila namanya disebut dengan kebaikan di sisi Rasulullah sollallohu ‘alaihi wa sallam.





Kemudian sholawat dapat Meneguhkan kedua kaki di atas Shirath dan melewatinya. berdasarkan hadits Abdurrahman bin Samirah yang diriwayatkan oleh Said bin Musayyib tentang mimpi Rasulullah sollallohu ‘alaihi wa sallam: “Saya melihat seorang di antara umatku merangkak di atas Shirath dan kadang-kadang berpegangan lalu sholawatnya untukku datang dan membantunya berdiri dengan kedua kakinya lalu menyelamatkannya.” [H.R. Abu Musa Al-Madiniy]

18.  Akan senantiasa mendapatkan cinta Rasulullah sollallohu ‘alaihi wa sallam bahkan bertambah dan berlipat ganda. Dan itu termasuk ikatan Iman yang tidak sempurna kecuali dengannya, karena seorang hamba bila senantiasa menyebut nama kekasihnya, menghadirkan dalam hati segala kebaikankebaikannya yang melahirkan cinta, maka cintanya itu akan semakin berlipat dan rasa rindu kepadanya akan semakin bertambah, bahkan akan menguasai seluruh hatinya. Tetapi bila ia menolak mengingat dan menghadirkannya dalam hati, maka cintanya akan berkurang dari hatinya. Tidak ada yang lebih disenangi oleh seorang pecinta kecuali melihat orang yang dicintainya dan tiada yang lebih dicintai hatinya kecuali dengan menyebut kebaikan kebaikannya.

Demikianlah berbagai keutamaan shalawat ke atas Nabi
Semoga kita termasuk golongan yang mendapat syafaatnya. Amin Ya Robal Alamin.