Mengenal Sosok Ulama Sebagai Pewaris Nabi
(Catatan-Kritis; Eksistensi MUI Kabupaten Kayong Utara)
oleh : Jamani
Berbicara “ulama” pada
umumnya dikenal sebagai sosok; tokoh agama, kiai, da’i, ustadz yaitu orang yang
berilmu tinggi di bidang agama (baca; Islam). Sedangkan perkumpulan para ulama
di Indonesia dikenal Majelis Ulama Indonesia (MUI) dari tingkat pusat sampai
daerah. Sebuah Lembaga yang mampu membuat suatu ketentuan produk hukum melalui
Ijma’ (baca; kesepakatan para ulama) yang lebih populis produknya dikenal
istilah “Fatwa”. Terlepas dari hasil produk hukum tersebut dan menghindari
luasnya tulisan ini, maka penulis hanya membatasi pada pertanyaan siapakah
ulama itu ? mengapa disebut pewaris Nabi ? Bagaimana ulama masa kini ? selain
itu tulisan ini juga untuk ditujukan sebagai sekedar catatan terhadap eksistensi MUI Kabupaten Kayong Utara yang sebentar
lagi akan melaksanakan musyawarah daerah yang “diklaim” mampu membawa kemajuan
dan mewujudkan cita-cita umat Islam Kayong Utara kepada peradaban masyarakat
yang bertaqwa dan berakhlaqul Karimah. Amin
Ya robbal ‘alamin.
Siapakah
Ulama’ itu ?
Ulama' secara etimologi (bahasa)
adalah orang orang yang mengetahui. Kata “ulama'” adalah kalimat jama' dari 'aalim
ada yang berpendapat bukan dari 'aalim
akan tetapi dari 'aliim adalah
isim fail mubalaghah berarti sangat
mengetahui. Sedangkan pengertian ulama'
secara terminologi (istilah) adalah orang yang memiliki ilmu
pengetahuan yang mendalam mengenai al-Qur’an dan al-Hadits dan menerapkannya dalam
kehidupannya. Selain itu Ulama' adalah orang mengetahui al-Qur’an (baik
bacaannya maupun kandungannya) dan mengajarkannya. Kemudian Ulama' juga
diartikan orang yang mendapat ilmu Rasulullah SAW dan setiap harinya di
sibukkan dengan ilmunya seperti bertabligh, mengajar dan mengarang Kitab
(lihat. http://mughist-sumberilmu.blogspot.com).
Menurut penulis pada dasarnya bahwa defenisi (batasan)
ulama adalah orang yang memiliki kapasitas keilmuan yang memadai dalam
bidangnya (baca; agama Islam) dan juga menguasai bidang lainnya. seorang ulama juga
harus mengamalkan ilmunya di dalam kehidupan nyata. Dengan kata lain bukan hanya “pandai
beretorika indah dan menarik” tetapi lebih dari itu.
Menurut Imam al-Ghazali
dalam Moqsith (2010:50) di dalam kitab “Ihya
Ulumuddin” menjelaskan bahwa ulama ada dua, yaitu ulama su’ (ulama yang buruk) dan ulama husn (ulama yang baik). Jika dilihat
dari pembagian ini, ulama’ su’ dapat
dipahami bahwa tokoh yang bergelar ulama tetapi jiwanya bukan ulama atau dengan
istilah lain ulama sekedar kulitnya saja. Ulama seperti ini sebenarnya bukanlah
ulama, tetapi hanya gelar atau pengakuan saja, karena ulama bukan gelar atau
klaim tetapi “uswatun hasanah”
sebagai warisan yang sangat mulia dari para Nabi.
Ulama sebagai Pewaris
Nabi
Nabi Muhammad SAW
bersabda “..al-Ulamaau warasatul anbiaa”
ulama adalah pewaris nabi. Ulama'
adalah orang yang mendapatkan kedudukan yang sangat tinggi setelah para Nabi
dan Rasul. Secara eksplisit hadits ini dapat mengangkat derajat para tokoh
agama disebut ulama; bangga mendapat gelar ulama. Namun secara implisit merupakan
suatu amanah yang berat untuk dilakukan oleh seorang ulama saat ini. Sebut saja,
mampukah seorang ulama mengurbankan seluruh kehidupannya untuk menyampaikan
perintah Allah dan risalah para nabi-nabi kepada manusia. Meskipun manusia itu
membantah, mampukah ulama mewarisi apa
yang disifati oleh para nabi. Mampukah ulama mengalami ujian apa yang dialami
para Nabi-Nabi Allah, mampukah para ulama saat ini menghadapi segala
persoalan ummat dengan solusi yang tepat. Tentu jawabannya penuh tanda tanya
(?).
Dalam hal ini penulis
kutip sebuah artikel yang ditulis Prof. Dr Buya Hamka (1908-1981) kurang lebih
61 tahun silam dengan judul “Ulama Waris
Anbiaa”. Menurut penulis bahwa tulisan ini sangat relevan untuk dijadikan
sebagai spirit perjuangan seorang Ulama dan eksistensinya sebagai koreksi
terhadap “klaim” “aku adalah ulama’. Beliau mengemukakan dengan tegas bahwa
..”Siapa yang berani! Siapa yang berani mewarisi pekerjaan Nabi Muhammad SAW; 13
tahun di Mekah, 10 tahun di Madinah, menghadapi berhala, menuhankan pangkat dan
kebesaran, harta, dan kemewahan. Menegakkan suatu keyakinan “tidada Tuhan
Selain Allah”, dengan itu ia hidup dan dengan itu ia mati. Hendak dibunuh,
diusir, dan kalau telah kuat berani berperang melawan kebenaran dan keyakinan
itu. Sholat dengan taat, bangun tengah malam; dan paginya menyandang pedang dan
menentang musuh. Tidak peduli berapa gandanya musuh, sebab perjuangan itu
senantiasa terus menang. Kalau ia hidup ialah berbakti dan ia mati adalah
syahid. Yang benar hanya satu ialah kebenaran Allah ! yang lain bohong semata !
siapa yang berani begitu !
Dalam artikel tersebut
menyimpulkan bahwa Ulama warasatul anbiaa
tetaplah istiqomah menegakkan kebenaran walaupun golongannya sedikit. Berani amar-ma’ruf , Nahi Munkar walaupun
seruan itu mulanya serupa dengan air jatuh ke pasir. Berani menegakkan kalimat
yang haq ditengah-tengah yang bathil; keberanian itu saja sudahlah suatu
kemenangan (Tamar Djaja dan Anwar Rasjid; 1953: 11).
Diakui penulis, bahwa pada
dasarnya memang konsep tersebut merupakan “ulama ideal”. Ulama yang tidak mudah
ditemukan dan dirasakan saat ini, sebagaimana yang dijelaskan Imam al-Ghazali
dalam Kitabnya “ihya Ulumuddin” yaitu ulama yang baik haruslah memiliki
kriteria ‘alim, zuhud, wara’, dan faqih. (1) Alim yaitu memiliki kapasitas keilmuan yang memadai dalam agamanya;
(2) Zuhud yakni tidak memiliki nafsu
duniawi untuk memperkaya diri; (3) wara, menghindari hal-hal yang subhat,
apalagi yang haram; dan (4) faqih, yaitu memahami ilmu kemasyarakatan dan
kondisi sosialnya (lihat Sutrisno Muslimin, 2011: 50).
Secara konsep ulama yang
telah memenuhi kriteria di atas merupakan ulama yang dapat dijadikan sebagai teladan.
Sebagai catatan bahwa seorang ulama yang ideal bukan hanya sekedar mumpuni di
dalam ilmu-ilmu keagamaan, tetapi juga mengerti kondisi masyarakatnya, seperti
para Nabi-Nabi yang memiliki sejumlah keahlian dibidangnya masing-masing.
Seperti Nabi Nuh seorang arsitek, Nabi Isa As seorang tabib (dokter); Muhammad sebagai wirausaha dan para Nabi-Nabi
lainnya. Ketika semua itu ada pada diri seseorang maka sangat pantas ia
menyandang “Ulama” sebagai “pewaris Nabi”.
Ulama masa kini
Berbicara ulama saat
ini, seperti yang dijelaskan sebelumnya bahwa “ulama ideal” saat ini sulit
ditemukan, kenapa? lihat saja betapa banyak kita perhatikan, seseorang yang
disebut ulama, pada umumnya kerap kali
dipermainkan untuk kepentingan kelompok tertentu, bahkan untuk kepentingan pribadi.
Pada hal seorang ulama seharusnya lebih bijaksana melalui keilmuan dan
kesholehannya yang selalu bersandar kepada Al-Qur’anul Karim dan al-Hadits.
Seorang ulama masa kini harus berani menyatakan mana yang hak dan bathil (lihat
Q.S al-A’raf: 175-177).
Jika kita kembali
menengok pada sejarah tokoh di Indonesia, banyak sosok ulama kita yang zahid,
alim, wara, dan faqih. Mereka dimasa hidupnya digelar ulama karena
perjuangannya dalam menegakkan kebenaran dan banyak berbuat ‘nyata’ bahkan
sanggup menantang penguasa dimasanya seperti H. Abdul Karim Amrullah , Buya
Hamka, KH. Hasyim As’ary, KH. Ahmad Dahlan, Basiuni Imran (Kal-Bar), Syaikh Muhammad
Arsyad al-Banjari (Kalsel) dan lain sebagainya.
Namun apa yang terjadi ulama
saat ini, sangat bertitik tolak belakang dengan Sabda Rasulullah SAW: “Ulama
yang buruk adalah sering mengunjungi penguasa, sementara penguasa yang paling
baik adalah sering mengunjungi ulama” (H.R Ibnu Majah).
Marilah kita selalu
berdoa semoga ulama-ulama masa kini berada di dalam petunjuk Allah, tetap
berkomitmen untuk menegakkan nilai-nilai dasar Islam, menegakkan keadilan serta
menekankan pentingnya kesejahteraaan dan kemashlahatan umat manusia. Rasulullah
bersabda “Allah tidak mencabut ilmu pengetahuan dari permukaan bumi begitu
saja, melainkan dengan mematikan para ulama”.
Kesimpulan
Berangkat dari beberapa
pendapat tersebut bahwa ulama bukan sekedar sebutan; nama atau klaim, tetapi esensialnya adalah berbuat (action) untuk kepentingan umat sesuai
konteks persoalan yang dihadapi ummat. Selain itu gelar ulama bukan alat untuk
kepentingan pribadi atau kelompok semata, bukan perkumpulan yang hanya
dibentuk; dilantik, dan mendapat surat keterangan. Dengan kata lain ulama harus
banyak “praktik” daripada retorika.
Kemudian ulama sebagai
pewaris Nabi adalah seseorang yang
berani; sanggup menjalankan amanah untuk mewarisi apa yang diperbuat oleh para
Nabi untuk kebaikan ummat. Selain itu seorang ulama tidak hanya sekedar mumpuni
di bidang agama saja, tetapi lebih dari itu. Mampu memiliki kemampuan di
bidang-bidang sosial lainnya sehingga kompeten memberikan solusi tepat untuk
perbaikan ummat.
Ulama masa kini,
sebaiknya berusaha lebih keras dan menciptakan produk metode-metode pendekatan
stategis untuk perbaikan ummat sebagai bukti amar-ma’ruf nahi munkar” bukan hanya berbicara tentang fatwa, kedudukan,
jabatan dan peluang. Seorang ulama masa kini harus melihat secara nyata
persoalan yang terjadi di masyarakat. Seperti misalnya masjid sering kosong, maraknya
pergaulan bebas bagi para remaja, hilangya budaya malu, perzinahan, Narkoba,
perjudian, Miras di mana-mana, generasi jauh dari Qur;an, dan masih banyak
persoalan-persoalan ummat yang harus diperankan oleh seorang ulama.
Harapan penulis, semoga
dengan adanya wadah organisasi Islam yang akan dilantik nantinya, kembali
kepada fikroh “perjuangan”dan “pengabdian”. Selain itu juga melalui wadah tersebut (baca; MUI)
dapat memberikan sedikit (minimal) kontribusi kepada perbaikan sekelumit
permasalahan ummat khusunya di Kabupaten Kayong Utara. Yakni Bersedia, Sanggup mengorbakan
segala fikiran, tenaga, dan waktunya secara nyata dengan selalu menjunjung tinggi
kebenaran al-Qur’an dan al-Hadits. Wallahu’alam bisawwab.