Benarkah Bumi Rata-Terhampar
Q.S al- QS. Al-Gashiyyah: 20
(Bukan Tulisan; Sekedar Berbagi)
Berawal dari ingin menggali “bukan tak yakin” tentang
kalimat suci dari ucapan Rasulullah SAW, tentang “Islam
muncul dalam keadaan asing dan akan kembali dalam keadaan asing, maka
beruntunglah orang-orang yang asing”. Ditemukanlah sebuah fatwa Syaikh
Abdul Aziz bin Baz tentang hadis tersebut, kemudian penulis menggali informasi biografi
beliau, sampailah kepada fatwanya tentang bahwa bumi itu rata sama halnya Imam
Qurthubi (lihat.https://id.wikipedia.org/wiki/Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz).
Sungguh menarik, dari tafsir beliau tentang bumi itu rata, namun dalam
penafsirannya dibantah ilmuwan-ilmuwan Barat. Akhirnya para ilmuwan melakukan
ekspedisi ke luar angkasa sebagai bantahan pernyataan beliau. Kurang lebih
copasnya adalah ekspedisi keluar angkasa pertama kali dilakukan oleh
orang-orang Uni Soviet & Amerika Serikat, membuat sebagian ilmuwan-ilmuan
di negeri barat menciptakan sebuah statement hujatan atas Al-Qur'an dan isinya
yang menurut mereka sangat tidak masuk akal. Dari pernyataan tersebut, para Ulama arab pada waktu itu tidak
terima, salah satunya Imam Abdul Aziz Abdullah bin Baz.
Namun Syaikh
Bin Baz mendapati pemberitahuan bahwa ekspedisi luar angkasa yang dilakukan
oleh beberapa ilmuan barat tersebut, telah membuktikan kebenaran tafsir Imam
Ibnu Hazm dalam menafsirkan Q.S Al-Gashiyyah ayat 20. Yang artinya "Dan
(apakah mereka tidak memperhatikan) bumi, bagaimana ia dihamparkan"
(QS. Al-Gashiyyah: 20)
Imam Ibnu Hazm berpendapat bahwa penekanan
kata "dihamparkan" menunjukkan bahwa sebenarnya bentuk bumi itu tak
rata dan terhampar sebagaimana karpet, namun karena kekuasaan Allah sehingga
bumi yang tak rata itu seakan-akan terhampar pada bagian permukaannya dan
makhluk hidup pun bisa tinggal serta berjalan-jalan diatasnya. Sejak saat itu
maka muncul sebuah fatwa rujuknya Syaikh Bin Baz dari pendapat bahwa bumi itu
rata dan diapun berhujjah dengan pendapat Imam Ibnu Hazm diatas.
Disinilah muncul analitik-kritis penulis terhadap
Fatwa Imam Syaikh Bin Baz, padahal awalnya beliau dengan keras memfatwakan yang
copasnye “bahwa “bagi siapapun kaum muslimin yang mengikuti pesta besar
orang-orang non-muslim barat dalam menghina Al-Qur'an dan mengkufuri isinya,
maka orang itu telah melakukan suatu tindak kekufuran yang bisa berakibat pada
keluarnya orang itu dari millah (agama) Islam”.
Muncullah bertanya siapa Imam Ibnu Hizm, akhirnya
kembali ke wikepedia, ternyata beliau adalah seorang sejarawan, ahli fikih, dan
imam Ahlus Sunnah
di Spanyol Islam bermazhab Zhahiri (bahasa Arab: ظاهري; Literal) adalah salah satu mazhab fikih dan akidah dalam lingkup
ahlus sunnah
yang mencapai masa jayanya semenjak abad ke-3 hingga ke-8 H. Pengikut
mazhab ini mengimani secara harfiah ayat-ayat Al-Quran dan Hadits sebagai
satu-satunya sumber hukum Islam. Keyakinan mazhab ini menolak adanya permisalan
(Qiyas)
dan pemikiran pribadi (Ra'y)
sebagai bagian dari sumber hukum fikih. Selain itu juga tidak menganggap fungsi
konsesus Ijma').
Sedangkan Syaikh
Abdul Aziz bin Baz kurang lebih copasnye “banyak
menukil pendapat Imam Ahmad bin Hambal, namun dia menegaskan bahwa hal ini
bukan karena taklid (Syaikh Bin Baz bukanlah termasuk pengikut mazhab tertentu
di antara 4 mazhab para Imam). Dalam menghadapi ikhtilaf (perbedaan pendapat)
fiqih dikalangan para Imam Mazhab dan para ulama, dia menggunakan metode tarjih dan ijma', yaitu manakah di
antara pendapat Ulama itu yang memiliki hujjah paling kuat menurut sandaran
utamanya (yaitu Al-Qur'an dan As-Sunnah/Hadits), dan ketika sudah diketahui
manakah yang kuat maka pendapat itulah yang akan diambil dan ikuti. Dan ketika
menghadapi suatu persoalan yang belum disebutkan di dalam Al-Qur'an maupun
Hadits secara terperinci, maka Syaikh Bin Baz akan mengambil pendapat ijma'
(mayoritas) para ulama. Dia sangat mengecam keras perselisihan di antara kaum
muslimin yang berasal dari ikhtilaf para Imam Mazhab (yang disebabkan karena
fanatisme Mazhab maupun taklid). Syaikh Bin Baz senantiasa menasehati ummat
untuk selalu berpegang teguh pada Al-Qur'an dan As-Sunnah serta bersatu dibawah
panji para Salafusshalih agar ummat Islam bisa kembali bersatu sebagaimana
Islam dimasa Rasulullah (Nabi Muhammad)”.
Berangkat
dari dua hal diatas, menjadi bahan pemikiran yang perlu didiskusikan bersama diataranya
:
1. Apakah fatwa
yang dikeluarkan itu tidak selamanya final sehingga dapat dirujuk ?
2. Apakah perlu didiskusikan kembali tentang “Bumi itu
Rata/terhampar sebagaimana Q.S al-Ghosiyah : 20
3. Mazhab zhahiri termasuk mazhab yang mana, apakah Imam Syafi’i,
Imam Hambali, Hanafi, dan Imam Maliki.
4. Saat ini
banyak yang memahami apablila tidak menggunakan Ijma’ dan Qiyas dikatakan “paham
keras”.
Demikianlah ulasan
singkat ini, penulis sadari karena kurangnya pengetahuan tentang keduanya,
mohon pencerahan. Dan akhirnya untuk mengurai “tentang hadits ““Islam muncul dalam keadaan asing dan
akan kembali dalam keadaan asing, maka beruntunglah orang-orang yang asing”
diurung, karena perlu mencari referensi yang dapat dijadikan sebagai pisau
analisis tentang tulisan tersebut. Wallahu ‘alam.