Matinya hati adalah kehidupan dan kehidupan hati adalah ilmu
Imam Al-Ghazali
Pengalaman menunjukkan bahwa ruh tidak lain adalah kesadaran
Siapapun yang memiliki kesadaran lebih besar memiliki semangat yang lebih besar; Ketika semangat menjadi lebih besar dan melampaui semua batas, roh segala sesuatu menjadi patuh padanya Jalaludin Rumi
Senin, 06 Juli 2020
Rabu, 01 Juli 2020
Senin, 22 Juni 2020
Jumat, 05 Juni 2020
Rabu, 01 Januari 2020
Naskah-Naskah Terbiar #1
|
Naskah “Anakku
Negaraku[1]”
merupakan kisah tragedi kehidupan seorang Tenaga Kerja Wanita (TKW) Indonesia
yang divonis mati kini banyak diberitakan diberbagai media, suatu peristiwa
yang syarat akan pesan moral dan pendidkan. Hal ini penulis pertimbangkan
sebagai salah satu cara agar pementasan theatre yang kami sajikan tidak hanya
dapat menjadi hiburan bagi penonton tapi juga dapat digunakan sebagai pelajaran
dan media untuk merefleksi diri.
Cerita ini juga merupakan kisah menyedihkan, mengharukan nasib seorang TKW
yang divonis mati, Demi sesuap nasi dan demi mempertahankan hidup, rela
meninggalkan keluarga dan Negerinya. Niat mereka hanya itu tetapi bukan untuk
membunuh. Namun Akibat kekerasan dan penganiayaan sang majikan akhirnya tidak
mampu melakukan pembelaan diri ibarat pepatah “Bagai anjing menyalak di ekor gajah””, Orang
yang hina dan lemah hendak melawan orang yang besar dan kuat, tentu tak akan
berhasil. Akibat Kurangnya
pembelaan dari Negaranya, dan otoritas hukum akhirnya Vonis Hukuman mati adalah
sebuah kepasrahan bagi TKW Indonesia, padahal mereka adalah “Pahlawan Devisa
Negara”.
Cerita ini dimulai ketika Zainab, 33 tahun, seorang TKW, bertatus janda
memiliki 2 anak perempuan Aminah (21) dan Siti (17) yang dititipkan kepada
neneknya. Zainab menikah diusia yang
sangat muda (12 tahun). Pada saat ia mengandung 4 bulan suaminya meninggal. Akhirnya
Zainab memutuskan untuk menjadi TWK ke Arab yang pada waktu itu anaknya siti
sudah lahir dan masih berusia 6 bulan. Zainab berharap dengan penghasilannya ia
dapat menafkahai kedua anaknya dan menjadikan mereka anak yang berpendidikan
tinggi sebagai sarjana.
Kurang lebih 15 tahun ia bekerja di di Arab dari rumah ke rumah. ia tidak
pernah pulang ke kampung halamanya hanya mengirim surat lewat Pos dan sesekali
menelpon lewat telpon umum. Nasib sial menimpanya Zainab di tahun terakhir ia
mendapat majikan tidak seperti sebelumnya. Ia sering mendapatkan tekanan,
penganiaayan, hinaan dan makian bahkan ingin mengancam untuk membununhnya.
Akhirnya zainab pun terlibat dalam aksi pembunuhan terhadap majikannya. Dengan
Kepasrahan zaenab pun mengakui perbuatannya dan menyerahkan diri kepada
kepolisian. akibat perbuatannya itu dia kemudian dijatuhi hukuman mati.
Selama di sel ia (Zainab) mengalami goncangan jiwa degan persitiwa yang di
alaminya. kemdudian zainab sangat menyayangkan waktu eksekusi telah dipercepat
yang seharusnya masih 7 hari lagi setelah putusan pengadilan. Penuntut dari
keluarga si korban (majikan Zainab) merupakan keluarga terhormat di Arab ingin
segera eksekusi dilaksanakan agar pihak keluarga merasa ketenangan. Zainab
hanya pasrah dan ia bisa berkata-kata mengharapkan anaknya dan negaranya.
Sebelum dieksekusi, Zainab diminta untuk mengajukan keinginan terakhir.
Zainab pun hanya meminta, dipakaikan putih yang akan di pakai saat ia di
pancung untuk diberikan kepada kedua anaknya, agar darah itu bisa menyentuh
kedua tubuh anaknya. kedua, saat ia dipancung ia ingin menggunakan Ikat Kepala
Berwarna merah putih untuk diserahkan kepada utusan negara untuk mengingatkan
kepada negaranya bahwa para TKW Bukanlah titipan untuk Membunuh tapi karena
melawan Kemiskinan, Kemelaratan, dan terpuruknya kehidupan dirinya dan
keluarganya, Maka mereka berharap adanya Pembelaan dari Negara tentang
nasib-nasib mereka yang bekerja divonis mati di luar negeri. Mereka ingin
negara menegakkan dan Menjunjung tinggi Kemanusiaan yang Adil dan Beradab”
sesuai falsafah negaranya”.
.....................................................................................
Naskah-Adegan 1
Pada suatu malam disebuah rumah sederhana, duduk
seorang gadis cantik di ruang tamu, memandangi sebuah foto berbingkai yang
terpajang di atas meja belajarnya, sorot matanya tertuju pada gambar tersebut. Ia adalah aminah anak tertua
dari zainab. Ia pun berbicara dengan sosok yang terpajang dibingkai itu seolah ibunya zainab merasakan
apa yang Ia rasakan.
Aminah pun berbicara sendiri “Mak, apa kabarmu di sana, sudah setahun mak
tidak ada kabar, kami sangat merindukanmu mak”, Ungkap Aminah sambil
mengelus-ngelus bingkai foto ibunya Zainab. Ia pun melanjutkan curahan perasaannya yang sangat
merasakan kerinduan kepada sosok ibu yang amat ia sayangi. “Semoga mak
baik-baik saja mak ?” ucapnya sambil menitiskan air mata, “Entah mengapa mak”, dalam
2-3 hari ini minah selalu bermimpi buruk tentang mak, Minah selalu merasakan
ada sesuatu yang akan terjadi pada mak”. Tapi..mudah-mudahan itu hanya perasaan
minah”, ungkap minah semakin dalam.
Kemudian Aminah pun meletakkan foto berbingkai
ibunya tersebut di atas kasur dan berdiri menuju meja belajar, sambil tersenyum
sendiri mengingat masa lalunya ketika bersama ibunya. Lagi-lagi aminah terus
berbicara sendiri seolah ibunya berada disampingnya. “Oh ya mak, ada kabar gembira
buat mak, alhamdulillah berkat nasihat mak dan hasil keringat mak membanting
tulang untuk siti dan minah, sekarang minah sudah sarjana mak, siti juga sudah kelas sepuluh SMK, Minah
ingin sekali mak tahu mendengar kabar ini?” Tapi kemana, mak, sepucuk suratpun
tidak ada, minah rindu mak”, sambil memeluk jubah sarjananya. Ia terus
meneteskan air matanya karena sangat rindu dengan ibunya yang sedang bekerja
menjadi TKW di negeri orang.
Seketika itu tiba-tiba seseorang
datang menghampiri. Ia adalah Siti adik dari Aminah yang baru balik dari
sekolah. Siti datang menghampiri minah dan langusng ke meja belajarnya sambil
membawa buku dan surat. “Ehm, ada apa sih kak, kedengarannya sedih
sekali ?”seperti ada yang mau mati saja?”, cetusnya.
Aminah pun dengan cepat menghapus air matanya lalu
segera meletakkan jubah hitam di tempat
tidurnya. Aminah menanggapi ucapan adiknya, “Tidak apa-apa Siti, kakak rindu sama mak?” sudah setahun ini tak ada
kabarnya?”, ungkapnya dengan lembut.
Mendengar Kata “mak”, Siti merasa kesal ia pun langsung
berdiri dan menuju tempat belajar kemudian duduk dikursi sambil membuka buku
yang di bawanya sambil berkata. “Oh, memangnya kenapa kak?” dari dulu kan, kita sudah terbiasa tanpa mak ?”
ucap siti kesal. Aminah juga ikut kesal, “maksudmu, apa Siti?”. Sitipun
menanggapi dengan culas, “ya..maksudku “kenyataannya kan memang seperti itu kak
?”ucap siti.
Aminah pun heran dengan perkataan adiknya “jadi kamu tidak rindu sama mak
?”. Mendengar pertanyaan kakaknya, Siti
pun bangkit dari kursinya sambil mendekap dan membelakangi aminah, “apa..rindu..!!
sama sekali tidak kak !” Aku pun tak tahu seperti apa mak, “aku merasa tidak
punya mak..kak!,
Aminah pun terkejut dengan perkataan kasar
adiknya, “Siti, instighfar
siti? lalu menasehatinya “Kakak mengerti perasaanmu, tapi Tak pantas kau
berkata seperti itu ?” ucap Aminah.
Namun Siti terus merasa heran dengan kakaknya, “Tak pantas bagaimana kak ?”
cetus siti. Aminah terus menasehati adiknya dan karena ia memahami perasaan
Siti, dengan lemah lembut aminah mengatakan “dengar ya Siti, mak meninggalkan
kita demi masa depan kita” tanpa mak mungkin kita tak seperti sekarang?”ucapnya.
Siti tetap kesal ”ah..! itu kakak..! “bukan aku!”. Aminah terkejut dengan
perkataan adiknya, “istighfar Siti !”.
Siti tetap dengan pendiriannya dan terus
mengungkapkan perasaannya kepada kakaknya, “15 tahun kak ?”aku tidak merasakan kasih sayang mak, aku iri dengan
anak-anak yang lain (sambil menunjuk) saat aku menangis kelaparan ada mak
menyuapiku, saat aku ingin mulai merangkak ada mak menuntunku ,saat aku sedih
dimana mak !, dimana mak..kak!,
Aminah terus menjelaskan dan menenangkan, “Siti, kakak mengerti apa yang
kamu katakan, tapi bukan berarti mak tak sayang denganmu ?” ungkap Aminah.
Siti terus membantah, “apa !, Sayang kata kakak, sekarang mana mak ?, ”Ia
lebih mementingkan uang dari pada kita kak? ”cetus Siti. Aminah pun kehilangan
kesabaran terhadap adiknya, “hentikan ucapanmu Siti, memang mak pergi untuk
mencari uang, tapi bukan untuk dirinya sendiri, ,mak ingin kita tetap sekolah,
mak ingin kita punya masa depan yang cerah siti ?” ucap Aminah.
Siti tetap tidak menghiraukan perkataan kakaknya
karena ia merasakan dirinya kurang kasih sayang dari ibunya, “masa depan yang cerah” hidupku
suram kak?” sudahlah kak, “aku hanya butuh mak yang nyata bukan mak yang tak
jelas !”cetus Siti.
Mendengar pernyataan adiknya, aminah merasa
sangat terpukul sehingga aminah tidak bisa menahan amarahnya.. Akhirnya aminah
menampar wajah siti, tplakk !!!, Siti! astaghfirullah, apa yang aku lakukan?, sesal Aminah.
Namun, hati Siti tetap keras, “tampar, tampar, tampar Kak !, puas hati
kakak, pukul aku kak ? Apa perlu bunuh saja aku kak!!”, ucap Siti dengan
keputusasaan. Aminah langsung memeluk
Siti, ia sangat menyesali perbuatanya yang tak seharusnya dilakukannya kepada
siti. Dan ia pun memeluk siti dengan erat. “Maafkan kakak Siti?, ”Kakak
tak bermaksud kasar padamu”ucap Aminah. Siti pun tahu bahwa ia telah berlaku
kurang ajar dengan kakaknya, karena merasa tidak pernah dibelai kasih oleh
ibunya, tapi kakaknyalah yang membesarkannya dengan penuh kasih sayang. “sudah
lah kak” kakak sama mak sama saja, tak mengerti perasaanku ! aku butuh mak kak,
aku tak ingin mak jauh dariku.. aku ingin mak setiap saat bersamaku kak ? ucap
Siti penuh kerinduan kepada ibunya.
Aminah pun berusaha menenangkan siti dan ia memahami
bahwa adiknya kurang sentuhan kasih sayang seorang ibu. “kakak juga Siti, kakak
merasakan apa yang kamu rasakan, dulu
kakak sama sepertimu, sebelum nenek meninggal, nenek pernah bercerita bahwa mak
pergi menjadi TKW karena keadaan yang memaksanya, sejak ayah meninggal mak
siang malam membanting tulang, ia tak pernah lelah mencari nafkah, ia ingin
kita tumbuh seperti anak yang lain”. ia tak ingin kita seperti apa yang dialami
mak” ucap aminah.
Perasaan siti mulai mengerti apa yang disampaikan
kakaknya bahwa ibunya merupakan sosok wanita yang kuat dalam menghadapi cobaan
hidup, “Iya kak, maafkan
siti ya kak? Ucap Siti. “Ia siti, kakak
juga” ini surat apa siti ?”, tanya Aminah.
“itu surat dari Pak RT kak”, jawab Siti. Aminah pun membuka ampolop surat
itu, “Sepertinya surat ini penting dari kementerian Luar Negeri, tanya Aminah. “iya
kak..?”jawab Siti.
Aminah pun membaca isi surat tersebut, kalimat
demi kalimat, ternyata surat yang dibacanya adalah surat keputusan pengadilan Luar Negeri bahwa
ibunya divonis hukuman mati. Aminah terkejut, “Astarfirullahal’azim”
tidak..tidak mungkin Ya..Allah ..mak..mak”, ucap Aminah tak percaya. Aminah tak berdaya, batinnya sangat
terguncang, akhirnya Ia jatuh pingsan. Situ pun terkejut melihat
kakaknya, “kak...kak ada apa..kak..!!” bangun kak, ada apa ? “tanya Siti. Siti
pun membaca surat itu dan ia pun terkejut dan panik pergi ke dapur mengambil
air dan berusaha menolong kakaknya yang terbaring lalu memercikkan air diwajah
Aminah, “Kakak, kakak bangun kakak.
Seketika itu, seolah rumah dan seisinya juga ikut berduka, hari semakin larut
dan mencekam, karena ibunya Zainab mendapatkan vonis hukuman mati atas
perbuatannya yang membunuh majikannya. Aminah dan siti larut berduka atas
berita yang mereka terima.
.....................................................................................
Naskah: Adegan 2
Suasana malam mencekam dalam sebuah ruang yang hanya
dicahayai satu lampu bergantung tidak begitu terang, tiba-tiba terdengar
jeritan- yang terbaring di bale di dalam selnya. Zaenab tiba-tiba berteriak
sekuat tenaga seperti orang kesurupan. “Minaaaah..!!!
Umi laila (35 th) sipir penjara terkejut yang
sedang membaca koran. Sambil membawa pentungan – ia mengahmpiri, matanya
menatap zainab dengan tatapan tanpa
empati, meski ia tampak berusaha menahan suaranya, suaranya tetap terdengar
ketus–culas, “Hei.. Apa..apaan
teriak teriak seperti itu“ ketus Umi Laila.
Zainab mendadak statis oleh suara keras umi
laila. Ia mulai menyadari ia baru saja mengalami mimpi buruk dan seluruh
tubuhnya bergetar, ”Anakku..Anakku..anaku”?,
ucap Zainab.
Umi laila Kesal dan marah, “Penghuni penjara ini bukan cuma kamu zainab !, Mimpi buruk itu biasa. Jadi gak usah
teriak-teriak. Membunuh seorang Majikan yang menghidupimu mampu, menghadapi
mimpi buruk kok seperti orang kesurupan”.
Zainab mencoba menanggapi. Tampak letih, ia
merebahkan tubuhnya didinding sel, meringkuk. Zainab masih meringkuk. Umi laila
mendekati, sambil tetap mengayunkan pentongan. “Engkau Salah umi , aku bermimpi tentang
anakku..soal pembunuhan itu adalah pengalaman terpahit sepanjang hidupku umi.
Aku Datang ke Negerimu karena aku sayang dengan keluargaku, aku dititipkan oleh
Negaraku bukan untuk membunuh umi ?”ucap Zainab.
Umi laila bangkit. Ia bicara sinis sambil
mengitari zainab, tak henti mengayunkan pentungannya, “Oh. ya..Pembunuh berbicara Soal
titipan Negara, ha..ha..” tawa umi sambil meledek.
Tanpa sedikitpun Ia bersimpati dengan zainab, dengan
sikap kasarnya yang berlebihan memuntahkan kejengkelannya pada zanab, “He !.dengar ya zaenab, di
Negaraku Pembunuh tetap pembunuh”, nyawa
dibalas nyawa.. aku sudah muak dengan cerita-cerita pembelaan-diri seperti itu.
Para TKW yang diperkosa… Dianiaya, diperdagangkan dan kalaupun kamu betul
korban ? Itu tidak berarti kamu berhak membunuh orang”, sambil menunjuk tepat
di wajah Zainab.
Zainab pun tak tinggal diam dan menepis tangan
umi laila yang sejak tadi merendahkannya secara berlebihan. Sikap zainab tampak
berubah. Ia duduk dengan tubuh tegak, kepala menatap lurus ke depan, tampak
kuat, “tapi umi, Aku
Membunuh Majikanku hanya untuk membela diriku, untuk harga diri dan keluargaku,
aku tak mau Negaraku di rendahkan..Umi ! tegas menantang.
Umi laila menatap zainab terpana sekaligus marah.
Masih belum puas dengan ejekan-ejekannya, ia menanggapi pengakuan zainab dengan
sikap dan suara semakin bernafsu, “Ooooo…Demi harga diri dan membela Negaramu. Dan kamu bangga? Apa yang kamu
banggakan Zaenab? Menjadi sorotan dimana-mana? Menjadi berita utama di
koran-koran, ”Seorang Pahlawan Devisa Negara dihukum Mati” Karena membela
Negaranya..ha..ha..minah..minah. “bermimpi saja kau. !!!, buktinya sekarang
mana negaramu, ada utusan negaramu untuk membelamu, datang membawa pengacara
untukmu, agar kau bebas dari hukumanmu, tidakkan ?”.
Zainab menyadari bahwa memang selama ini Negaranya membiarkannya, karena
tidak ada satupun pengacara yang menemuinya sejak ia ditangkap, “iya aku tahu itu..aku sadar..aku hanya orang
kecil, tapi kubutuh negaraku mengakuiku bahwa “aku bukanlah pembunuh, aku bukan
pembunuh, aku bukan pembunuh”, berulang ia katakan sambil menangis. Zainab merasa tidak kuat dengan apa yang
diucapkannya hingga ia terunduk menyesali perbuatannya.
Sedangkan umi laila merasa tidak tahan, tiba-tiba
loncat ke bale, meremas wajah zaenab, dengan kasar, “oh maksudnya kau ingin diakui
pahlawan negera..Eh, dengar ya, pembunuh !, kamu itu harusnya malu !” engkau
makan disini, anakmu makan hasil keringatmu disini, bahkan negaramu menerima
pajak dari negari ini !, “bukan itu saja zainab kau akan mati di sini demi
anakmu dan Negaramu..!!, Umi terus menekan Zainab.
Zaenab tidak menanggapi. Matanya terus menatap
jauh ke depan, tajam, menatap ke masa depannya untuk anak-anaknya yang sangat
ia cintai..sambil memeluk besi sel dengan kepasrahan, “Umi benar, memang aku akan
mati di negerimu ini, aku terima umi mila, meski aku tahu saat ini ada atau
tidak, reaksi pembelaan dari Negara-ku, aku pasrah..tapi ketahuilah umi aku
bukan “Pembunuh”Aku bukan pembunuh”, teriak Zainab.
Umi Laila semakin jengkel dengan teriakan Zainab, sudahlah zainab ucapannmu
hanya merusak kedua kupingku!, membalas teriakan Zainab.
Kemudian Zainab bangkit dengan
sorotan matanya menuju umi laila, mendengar kata-kata umi laila teringat dengan
peristiwa yang di alaminya saat ia membunuh majikannya, “apa kata umi
merusak kupingku”, seharusnya aku yang pantas mengatakan itu..berawal dari
teriakan-teriakan tuanku; manusia yang sok bermoral, berpendidikan
itu..kupingku mendengar teriakannya memanggil namaku, saat itu aku sedang
bersujud di hadapan Tuhan, aku butuh kekhusu’’an. Aku tak sempat berdoa..tapi
aku lebih memilih memenuhi teriakan majikanku, meski ia membentak ku dengan
suaranya yang keras, ia menghinaku, mencaciku... masih terdengar umi
!..kupingku yang sakit umi !!!.
Umi Laila semakin kesal tidak terima dengan
kata-kata zaenab akhirnya ia hampir memukul zaenab dengan pentongannya, “Hentikan zainab !”.
Saat Umi Laila ingin memukul Zainab dengan pentongannya, tiba-tiba datang
seorang petugas sel berbadan kekar, seperti seorang prajurit perang. “Hormat
bu” ucapnya melapor.
Umi Laila pun menerima laporan dari petugas tersebut, “Ya ada apa ? jawabnya.
Petugas itu pun menyampaikan maksudnya menghadap, “lapor bu, Ibu segera di
panggil menghadap”.
Tanpa basa-basi akhirnya umi laila pun
meninggalkan ruangan sel untuk memenuhi panggilan atasanya., “Baiklah, Terima kasih”. Mari ikut
aku”. Siap bu !” jawab Pentugas.
Kemudian Zaenab sendirian di sel meratapi
peristiwa pahit yang menimpanya, ia pun merebahkan tubuhnya. Peristiwa siksaan
pada dirinya selalu menghantui dalam ingatannya tak pernah hilang
teriakan-terakan majikannya yang dibunuhnya. Suara-suara yang terus menghantui pikiran itu terus menggiang dalam
pikiran Zainab.
“zaenab..!!..zaenab !, zaenab
!!,.kau pembunuh !” kau pendosa Besar, kau bukan ibu yang baik”, ..”anakmu dan
negaramu akan malu dengan perbuatanmu..kau pembunuh zainab! kau akan mati..kepalamu
akan terpenggal zainab...ha..ha !!!”suara dalam kegelapan”.
Zainab histeris ketakutan mendengar kata-kata
yang seolah menghukum atas perbuatanya yang selalu ada dalam pikirannya, “Tidak..tidak aku bukan
pembunuh.....pergi..pergi.pergi” ucap Zainab ketakutan.
Zainab tak berdaya hanya tetesan air matanya
memasahi lantai selnya dan pada akhirnya tiba-tiba umi laila datang dengan
perintah atasannya bahwa eksekusi zainab dipercepat karena tuntutan pihak keluarga Abi Jailan (majikan
zainab) meminta pengadilan mengekskusi secepatnya agar pihak keluarga bisa
tenang. Umi laila pun merasa iba dengan zainab di saat detik-detik kematiannya.
Umi laila mendekati zainab mencoba untuk sedikit memberikan rasa simpatinya.
“Zainab..Zainab? ada apa denganmu ?,
tanyanya dengan lembut. “Tidak
apa-apa umi, aku takut umi ?”, jawab Zainab.
Umi laila mulai merasa tersentuh-berempati dan
sangat menyesali sikapnya telah berlaku kasar kepada wanita yang tak berdaya. “Tenanglah zainab ? sebelumnya
Umi meminta maaf, karena telah berkata kasar padamu?”.
Zainab merasa heran karena sebelumnya umi laila sering berkata kasar
kepadanya, “kenapa umi harus meminta maaf padaku, umi tidak bersalah padaku”.
Umi laila sambil meneteskan air matanya, tak tak
tahan untuk menyampaikan kata-katanya: akhirnya dengan cepat ia membuka sel
zainab dan mengeluarkannya dari sel ia pun langsung memeluk zainab dengan
erat. Zainab merasa sesuatu yang aneh dengan umi laila. “Zainab...berat
hati umi ingin mengatakan hal ini kepadamu..? zainab semakin penasaran “katakan
Umi, apa yang ingin kau katakan padaku ?”, tanya Zainab.
Umi Laila pun dengan rasa berat mengatakan bahwa Zainab akan dieksuksi
lebih cepat waktu yang ditentukan. “Hari
ini..kau akan di ekse kusi zainab”.
Mendengar dieksekusi zainab pun menolak tubuh umi
laila, dirinya bergemetar, dan berusaha untuk membela diri, “Tidak !” ini tidak mungkin,
ini tidak mungkin umi. Mengapa terlalu cepat, bukankah pengadilan Memutuskan
bahwa aku akan dieksekusi 7 hari lagi, umi jangan menipuku Umi ?”, ucap Zainab.
Umi pun menjelaskan, “benar Zainab.
inilah hukum di negeri ini ”jika ahli waris yang kau bunuh tidak
mengampunkanmu,”. Maka kami tidak bisa berbuat apa-apa, sekalipuan Penguasa
yang meminta?”.
Zainab semakin kesal dan protes terhadap pernyataan Umi laila, “Hukum apa
yang diterapkan di Negara ini ! padahal aku hanya membela diri” aku tidak
berniat untuk membunuh”, dimana keadilan di negeri ini..” Salahkah wanita yang
tak berdaya ini membela diri Umi ?” manusia mana yang rela, tubuhnya di siksa,
dicaci dimaki dan ingin dianiaya, bahkan ingin direnggut nyawanya Umi, jawab
umi ?”, pintanya.
Umi laila hanya terdiam dan tidak bisa berkata apa-apa hanya bisa menyebut
nama zainab, “Zainab”, mencoba menenangkan Zainab.
Zainab terus memprotes, “apa umi, katakan Umi, mengapa diam Umi! Kalaupun
aku divonis hukuma mati,” sambil meneteskan air mata dan akhirnya ia pasrah,
“aku tahu aku akan mati umi, tapi izinkanlah aku sebentar saja bertemu dengan
kedua anakku, merekalah kekuatanku umi,? 15 tahun mereka tidak mendapatkan
kasih sayangku ingin sekali tangan ini membelainya, ingin sekali aku mengecup kening
mereka, tapi apakan daya”, minta Zainab kepada Umi Laila.
Umi laila semakin tak sanggup menahan rasa
empatinya kepada zainab iapun merangkul memeluk erat tubuh zainab dengan merebahkan kepala zainab
di pelukannya,. Zainab pun meminta
kepada Umi laila“Apa aku masih bisa meminta umi ?” tanya Zainab.
Umi pun menyanggupi keinginan Zainab, “Iya nab,..apapun permintaanmu akan
dikabulkan”selain penagguhan eksekusimu “.
Zainab mencoba untuk tersenyum menanggapi
pernyataan umi laila bahwa dirinya dibolehkan meminta sesuatu di detik-detik
kematiannya. “Benarkah umi,
sekarang aku tidak butuh lagi penangguhan atau pembelaan, mungkin sudah
waktunya ajalku” pintanya.
Katakanlah permintaan mu Zainab ?”, tanya Umi Laila. Lalu Zainab pun
menyampaikan keinginannya dengan penuh ketulusan.
“aku ingin mengajukan dua permintaan umi, pertama setelah aku di ekse-kusi,
berikanlah pakaianku kepada kedua anakku..biar mereka mencium bau darahku, biar
darahku tersentuh kulit mereka, biarkan darahku menyatu dengan tubuh mereka
sebagai ganti dari kasih sayangku bahwa aku sangat mencintai mereka. Aku ingin
mereka Berani menghadapi tantangan hidup ini, Menghadapi Kemiskinan, Kebodohoan
serta ketidakadilan di Negerinnya sendiri”.
Umi laila hanya terdiam dan terus mendengar pernyataan Zainab sebagai
permintaan terkahirnya, dan hanya mengiyakan apa yang diminta Zainab. “iya
nab.. apa lagi yang ingin kau minta ?”.
Zainab bangkit meski tubuhnya yang hampir rapuh,
ia seolah berpidato di hadapan orang, dengan semangat di saat akhir hidupnya.
“kedua Aku ingin
menitipkan sesuatu kepada negaraku, ikatlah kepalaku dengan kain berwarna Merah
Putih biar percikan darahku menodainya..aku ingin negaraku kuat, aku ingin
negaraku berani memperjuangkan hak-saudara-saudaraku dan memberikan mereka
keadilan”. mereka bukan penoda negara, bukan perusak martabat bangsanya, mereka
bukan koruptor memakan triliunan uang rakyat..mereka bukan sampah rakyat,
mereka adalah pejuang, pejuang melawan Kemiskinan, Kebodohan dan Keterpurukan
dimana negaranya Lupa..!”.
Umi laila sangat terharu dengan kata-kata zaenab
yang masih peduli terhadap saudara-saudaranya sebangsa setanah air; para tkw
yang senasibnya denganya.
Zainab pun melanjutkan pernyataannya, seperti
bara api yang membara tertiup angin;
“kurang lebih 70 tahun Negaraku Merdeka!, yang
saat ini diagung-agungkan, hanya untuk mereka – mereka yang berkedudukan,
jabatan dan kekuasaan, tapi untuk wong cilik.
Seolah Negara Kerugian triliun,. Apakah rakyat kecil tidak berhak
sedikit mencicipi harta negaranya..mencicipi untuk harga Pembelaan dan Keadilan
..Aku ingin negaraku adil kami juga lahir dan tumbuh, di Negeri..Ibu Pertiwi!
Disaat pernyataan terakhirnya, kemudian dua
petugas pun datang menjemput, umi laila mengangkat tubuh zainab yang tak
berdaya, pasrah ia pun diiringi hingga ke tempat eksekusi.
.....................................................................................
Naskah-Adegan 3
Akhirnya proses eksekusi pun dijalankan, seluruh
badan zainab ditutup dan seorang al-gojo yang sudah bersiap, dan zainab pun
mengucap sesuatu kalimat tauhid, “Asyhadualla Ila ha Illallah wa asyhadu anna Muhamadurrosulullah”, ucapan
terakhirnya.
Zainabpun menenui ajalnya dan kemudian jasadnya
diangkat petugas dengan keranda kematian. Saat mayatnya dibawa ke ruang mayat
yang terdapat dalam sel tersebut, derap langkah aminah dan siti menuju ruang
tunggu ekseskuasi, mereka hanya melihat jasad yang tak bernyawa keluar dengan
kerenda kematian, isak tangis menyelimuti suasana.
Seketetika itu Umi Laila yang turut menyaksikan,
mencoba menenangkan kedua anak Zainab “anakku
biarkanlah ibumu pulang dengan tenang, ikhlaskanlah kepergiannya” ini
anakku ibumu memberikan wasiat ini kepadaku...ambillah“.
Aminah pun mengambil titipan dari ibunya, dan ia
pun membuka titipan itu yang berisi sehelai pakaian yang berlumuran darah, siti
dan aminah larut dalam kedukaan, isak tangis menyelimuti ruang itu, mereka seoalah
memandikan tubuhnya dengan darah ibunya, “Mak..Mak..mak !!!”, Siti pun merasa bersalah, “Maafkan aku mak ?, ucapnya.
Kemudian umi laila memandangi sesosok wanita
berpakaian rapi dengan jas hitam berdasi memegang tas hitam ia pun menyapanya. “ibukah utusan negara zainab”,
kata umi laila.
Dengan penuh keharuan, dan sangat terpukul bersalah, ibu tersebut menjawab
pertanyaan umi laila.“ya benar..bu?”
jawabnya.
Umi laila pun memberikan ikatan kepala zainab
kepada utusan negarannya. “ini bu..?” sambil menyerahkan titipan dari Zainab saat ia sebelum
dieksekusi.
Kemudian Utusan negara itu pun
membuka wasiat dari zaenab ia pun sangat terharu, seolah itu merupakan sindiran
bagi negaranya. Umi laila dengan
berat ia melangkah, amanah yang diberikan kepadanya sudah tersampaikan.
Dengan perginya umi laila meninggalkan penerima
wasiat, maka berakhirlah kisah seorang wanita yang kuat, wanita yang
mempertahankan harga diri martabat bangsanya. Kematiannya tidak sia-sia, ia
mati untuk “anakku dan negaraku”.
.....................................................................................
Tamat