Pengalaman menunjukkan bahwa ruh tidak lain adalah kesadaran

Siapapun yang memiliki kesadaran lebih besar memiliki semangat yang lebih besar; Ketika semangat menjadi lebih besar dan melampaui semua batas, roh segala sesuatu menjadi patuh padanya Jalaludin Rumi

Senin, 27 Juni 2016

TAK PUASE; TAK RAYE (Sebuah Renungan sebelum Ramadhan berakhir)



TAK PUASE; TAK RAYE
(Sebuah Renungan sebelum Ramadhan berakhir)
Sebuah ungkapan yang sangat menarik untuk kita renungkan dari animasi populer dari negeri sebelah sikembar Upin dan Ipin “tak puase, tak raye”. Jika dilihat dari bahasa keseharian , mungkin ini ungakan lucu, namun jika dilihat dari esensi puasa itu sendiri, ungkapan ini sangatlah tepat untuk kita menginstropeksi diri sebelum berakhirnya Ramdhan. Sebulan penuh berpuasa menahan diri untuk tidak makan, tidak minum, tidak berhubungan suami istri, dari terbitnya fajar sampai tenggelamnya matahari. Usaha tersebut dilakukan karena iman dan untuk meraih taqwa. Sebagaimana Firman Allah SWT dalam Q.S: 2:183 yang memerintahkan puasa disebutkan: “la allakum tattaqun” (agar kamu bertakwa). Sehingga dapatlah dikatakan, bahwa tujuan puasa itu adalah agar kita bertakwa.
Mengutip Penjelasan M. Quraish Sihab (2008) kata “takwa” mencakup segala macam kebajikan. Ilmu itu takwa, sabar itu takwa (bagian dari takwa). Ada yang mengatakan, bahwa puasa yang kita lakukan adalah untuk menenun pakaian takwa. Lebaran nanti, barulah pakaian takwa tersebut kita kenakan. “Wa libasut taqwa zalika khair”. Sebutlah apa saja dari kebaikan, maka itu termasuk ke dalam “takwa”. Jadi, istilah “takwa”, merupakan segala macam kebaikan ada di dalamnya. Takwa adalah istilah yang digunakan oleh Alquran untuk menggambarkan “dima ul khair (himpunan dari segala macam kebaikan).
Lebih lanjut dijelaskan, jika Alquran mengatakan, bahwa ”diwajibkan kepada kamu berpuasa supaya kamu bertakwa,” maksudnya adalah supaya terhimpun dalam dirimu segala macam kebajikan. Jadi jelaslah, bahwa puasa bukanlah cuma menahan diri (sabar) untuk tidak makan dan tidak minum.
Kemudian dalam hadits Rasulullah yang cukup terkenal, hadits Qudsi yaitu sabda Rasulullah yang merupakan firman Allah, yang firman Allah tersebut tidak termaktub di dalam Alquran, tetapi disampaikan oleh Malaikat Jibril kepada Rasulullah, kemudian Rasulullah menyusun kata-katanya. Kalau Alquran merupakan firman Allah yang disampaikan oleh Malaikat Jibril yang redaksinya langsung dari Allah. Kalau ini, ada yang dikatakan oleh Rasullah, ada yang dikatakan oleh Jibril. Rasulullah bersabda, Allah berfirman: “Ash-shaumuli wa ana azzibi.” Puasa itu untuk-Ku, dan Aku yang akan memberi ganjaran-Nya. Allah mengatakan, bahwa puasa itu untuk-Nya, Dia lah yang akan memberinya pahala.
Ada orang yang berpuasa cuma menahan diri dari makan, minum, dan hubungan suami istri. Ada juga yang berpuasa menahan diri dari makan, minum, hubungan suami istri, dan menahan diri untuk tidak memaki orang lain. Ada juga yang berpuasa tidak makan, minum, hubungan suami istri, tidak memaki orang lain, dan dia belajar, membersihkan hatinya, serta tidak dengki.
Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa yang Maha mengetahui hati itu hanyalah Allah. Karena itulah, tidak bisa lantas digeneralisir. “Akulah yang akan memberi pahalanya,” kata Allah. Kemudian dalam hal ini, para ulama memahami sabda Rasulullah yang merupakan firman Allah ini dengan mengatakan: “Karena puasa itu adalah rahasia antara yang berpuasa dengan Allah, maka itu sebabnya Allah berfirman: puasa untuk-Ku.” Ada juga yang mengatakan, bahwa esensi (tujuan akhir) dari puasa adalah takwa. Dia untuk Allah, yang kemudian ditafsirkan, bahwa untuk Allah yang dimaksud itu adalah rahasia.
Jadi, makna “takwa” merupakan arah yang dituju oleh puasa. Itulah esensinya. Seabgaimana Rasulullah bersabda:“Qammin shaa-imin laysalahu min shiyamihi illal ju’u wal ‘athas.” Banyak orang yang puasa, tetapi tidak mencapai esensinya, melainkan hanya lapar dan haus. Dari segi hukum ia mungkin berpuasa, tetapi bukan itu yang dimaksudkan oleh Allah. Maksud dari puasa adalah kendalikan diri, hiasi diri. Itulah esensi dari puasa sebenarnya.
Nah, Lantas bagaimana istilah upin dan ipin tak puase tak raye. Yang dimaksud disini adalah apakah orang yang tidak berpuasa dapat meraih fitri. Sebagaimana Makna Idul Fitri itu sendiri yaitu memiliki beberapa pengertian dan pemaknaan, diantaranya yaitu Idul Fitri juga bisa diartikan sebagai puncak atau klimaks dari pelaksanaan ibadah puasa di bulan Ramadhan. Idul Fitri sendiri memiliki keterkaitan makna dengan tujuan akhir yang ingin diraih dari pelaksanaan kewajiban berpuasa. Idul Fitri secara bahasa atau etimologi bisa berarti Hari Raya Kesucian atau bisa juga diartikan sebagai Hari Kemenangan umat Islam. Kemenangan disini adalah bentuk dari kemenangan dalam menggapai kesucian atau perwujudan dari kembali kepada keadaan  fitrah (Fitri) (Lihat. Quraish Shihab untuk suarakarya-online.com)
Dari penjabaran tersebut berarti kata Idul Fitri atau kembali kepada fitrah merupakan pengertian yang sangat relevan atau berhubungan dengan makna sebenarnya dari keberhasilan yang diperoleh setelah berakhirnya pelaksanaan ibadah puasa. Beberapa sumber juga menganalogikan Idul Fitri atau Lebaran sebagai jalan menuju kepada keadaan fitrah manusia layaknya seperti seorang bayi yang baru dilahirkan, bersih dan tanpa dosa.

Demikian tulisan seingkat ini, bukan untuk mengajari atau mengatakan kaum muslimin yang tak berpuasa tidak melaksanakan lebaran atau merayakan idul fitri. Akan tetapi paling tidak disisa waktu yang ada dapat digunakan untuk berpuasa, perbanyak amal, baca al-Qur’an, shalat qiyamul lail, bersedekah, berzakat dan bertaubat sehingga dihari kemenagan kita dapat meraih Rahmat Allah di hari fitri. Karena dibulan ramadhan yang sebentar lagi akan berakhir, sangat sayang bulan penuh rahmat, bulan pengampunan kita sia-siakan. Semoga kita mendapat ampunan dan keberkahan dibulan penh kemuliaan. Amin allahumma Amin. Wallahu’alam bisawwab.

Kamis, 23 Juni 2016

Pesanku Menjelang nan Fitri

Pesanku Menjelang Fitri
Oleh: Jamani

Berawal dari lafaz azan kulantunkan ditelingamu, terucap ayat Qur’an dan doa atas kehadiran buah hatiku tercinta didunia fana. Tangisanmu membuat kebahagiaan yang tak terhingga, tetes mata bahagia menyambutmu. Tak sia-sia mencari nafkah dan berdoa atas lahirmu. Aku dan wanita yang kusayangi sudah menyiapkan siapa namamu. Tangisanmu setiap malam membuat resah dan gelisah. Ternyata bahasamu lebih dimengerti bundamu, daripada aku. Dengan kasih dan sayang, seiring waktu, dari yang tak tahu berbicara bahasaku, yang tak tahu berjalan sepertiku, makan dan minum seperti aku, dan hari ini kau sudah dewasa, matang dalam berfikir, hidup dengan kemandirian. Hari ini kau jauh, tak bisa kuraba, aku mengerti kau melaksanakan tanggungjawabmu. Aku tak menuntut nak ?. tahukah kau kabarku hari ini, salahku tak bisa seperti orangtua lainnya. Ketika mereka rindu ia menghubungimu dengan alat canggih yang tak seperti dulu kau saat kuliah mengirimiku surat. Aku teringat dengan kalimat suratmu “Ayah apa kabarnya sekarang, mudah-mudahan ayah dan mak sehat, anakmu disini juga sehat”. Tapi kalimat itu tak pernah terbaca olehku, bahkan aku ingin mendengar kata-kata itu ditelingaku, seperti tetanggaku. Aku tak menyalahkanmu nak ? sebentar lagi idul fitri, aku teringat saat aku m
embelikanmu pakaian, dan ibumu memakaikan pakaian barumu, kau sangat senang dan bahagia. Mungkin hari ini pendamping hidupmu yang merawatmu nak ?. aku bahagia nak”. Ketika ku tulis pendamping hidup” aku ingat dengan ibumu yang sudah meninggalkanku terlebih dahulu didunia ini. Sekarang aku tinggal sendiri. Aku punya kau yang jauh disana, dan saudara-saudaramu yang dekat. Entah mengapa aku merasa sendiri ya nak ?.kadang aku melihat diriku, kulitku sudah keriput, rambutku sudah memutih, dan kakiku terasa kaku, bahkan pakaianku tak mampu ku cuci, bahkan makan dan minumpun, tanganku tak mampu menyuapiku sendiri. “ini mungkin yang dikatakan “tua renta”. Tapi sudahlah nak, aku tetap tegar dan bersyukur karena Tuhan masih sayang memberi kesempatan untuk melihat anak-anakku hari ini. anakku yang satu sudah menjadi pengusaha, setiap hari ia membentakku untuk tidak menghisap yang sudah menjadi kebiasaan burukku, ia melarangku pergi kepasar, dengan dalih mereka takut terjadi apa-apa pada fisikku,hm...Kemudian abangmu yang satu sekarang sudah menjadi abdi negara, ia selalu menuntutku seperti yang lainnya, menjadi orang yang tahu diri dan tidak usah menyusahkan oranglain. Kadang ia mengambil hasil panen tanaman yang ku tanam saat kau masih kecil, ia merasa haknya, padahal aku masih ingin merasakan hasil keringatku sendiri. Aku tak marah, karena ia anakku, dan pantas seorang anak mengambil hak dariku. Satu lagi, abangmu sudah sehat dari penyakitnya ia sudah bisa mandiri, satu lagi sudah punya kebun cengkeh, kadang ia datang sebulan, dua bulan sekali kerumah. Dan satu lagi adikmu yang membongkar rumah kita dulu, dan hari ini aku tinggal dirumah asing yang penuh debu dan semen, ya mungkin belum rizkinya untuk merenovasinya jauh ke negeri jiran, tak tahu kabarnya apa sekarang. Tapi sudahlah nak, tak patut aku ceritakan ini semua padamu”. Tapi satu yang ku pinta dan pesankan kepadamu; tak tahulah mengapa aku harus berkata seperti ini di ujung ramadhan ini. begini nak pesanku ? ketika yang maha pemberi hidup memanggilku, aku ingin kau yang memandikanku, aku ingin tanganmu membasuh seluruh tubuhku, aku ingin tanganmu yang mencuci tubuhku dengan siraman tanganmu, aku ingin kau balut tubuhku dengan tanganmu, aku ini bibirmu mengucapkan empat takbir untukku, aku ingin kau mendoakanku dengan “allahumma fighrlahu warhamhu wafuanhu” dan terakhir nak angkat jasadku ditempat dimana asalku diciptakan. Itulah pesannku nak, tak perlu kau hiasi rumah abadiku dengan tanda yang mahal atau membuatnya seperti rumah, jangan nak. Kutunggu kehadiranmu, jika kau tak sempat ku tunggu doamu, semoga dihari yang fitri kita selalu mendoakan ya nak..salam buat mennantu dan cucuku... tertanda ayahmu yang sangat merindukanmu.

Rabu, 22 Juni 2016

INOVASI PEMBELAJARAN; STUDENT TO STUDENT

INOVASI PEMBELAJARAN;  STUDENT TO STUDENT
Oleh : Jamani

Berawal dari ungkapan bijak Socrates “Kelas adalah pertempuran antara guru dengan anak didiknya, dan senjatanya adalah pertanyaan”. Pembelajaran merupakan sentralnya kegiatan belajar mengajar antara guru dan siswa yang bermuara pada pematangan intelektual, kedewasaan, emosional, spritual, kecakapan hidup dan keagungan moral. Jamal Ma’mur Asmani (2014:25) menjelaskan bahwa dalam proses belajar mengajar, guru harus memiliki strategi, agar siswa dapat belajar secara efektif dan efesien. Lebih lanjut, salah satu langkah utama untuk memiliki strategi itu ialah harus menguasai teknik-teknik penyajian atau biasanya disebut metode mengajar.
M. Firdauz Zarkasi (2009) dengan istilah “Belajar mengajar” adalah suatu kegiatan yang bernilai edukatif. Nilai edukatif mewarnai interaksi yang terjadi antara guru dengan anak didik guru harus memiliki strategi agar siswa dapat belajar secara efektif dan efesien. Interaksi yang bernilai edukatif dikarenakan kegiatan belajar mengajar yang dilakukannya, diarahkan untuk mencapai tujuan tertentu yang telah dirumuskan sebelum pengajaran dilakukan.
Sangat jelas bahwa guru harus mempersiapkan segala perencaanaan sebelum ia mengajar, salah satunya dikenal dengan “strategi”. strategi pembelajaran adalah serangkaian dan keseluruhan strategis guru dalam merealisasikan perwujudan kegiatan pembelajaran aktual yang efektif dan efesien untuk pencapaian tujuan pembelajaran (Jamal, 2014: 27).
Lebih sederhana Hilda Jaba dalam Firdaus (2009:24) strategi pembelajaran adalah cara-cara yang dipilih guru dalam proses pembelajaran yang dapat memberikan kemudahan atau fasilitas bagi siswa menuju tercapainya tujuan pembelajaran.  Herdian (2012) strategi pembelajaran adalah cara-cara tertentu yang digunakan secara sistematis & prosedural dalam kegiatan pembelajaran untuk meningkatkan kualitas proses dan hasil belajar. misalnya contextual teaching-learning, Quantum teaching-learning, Active learning, Mastery learning, Discovery-inquiry learning, cooperative Learning dan PAIKEM.
Berangkat dari uraian tersebut, maka sudah keharusan bagi guru untuk mencipta, meramu atau memformulasi strategi-stratgei yang tepat sebelum ia mengajar, sehingga dalam proses pembelajaran dapat berjalan sistematis, efektif dan efesien. Pembelajaran yang sistematis akan memudahkan peserta didik untuk memahami tujuan ia belajar sehingga tidak membingungkan. Sedangkan ketepatan strategi dan efesiensi waktu akan menghasilkan akhir belajar yang sesuai harapan.
Sunhaji (2009:21-22) menjelaskan bahwa ada dua indikator yang dapat dijadikan sebagai tolak ukur keberhasilan proses belajar mengajar. Pertama. Daya serap terhadap bahan pelajaran yang diajarkan agar mencapai prestasi tinggi, baik secara individual maupun kelompok. Kedua perilaku yang digariskan dalam tujuan pembelajaran yang telah dicapai siswa, baik secara individual maupun kelompok.  
Sedangkan beberapa penilaian yang dapat digunakan untuk melihat tingkat keberhasilan belajar siswa sekaligus mengetahui tingkat keberhasilan mengajar guru itu sendiri adalah istimewa /maksimal, baik sekali/ optimal, baik/minimal dan kurang. Lanjut Suhandi (2009)  bahwa nilai istimewa diberikan apabila seluruh bahan pelajaran yang diajarkan dapat dikuasai siswa. Nilai baik sekali diberikan apabila sebagian besar bahan pelajaran yang diajarkannya dapat dikuasai siswa (85% sampai dengan 94 %). Nilai bail minimal diberikan apabila bahan pelajaran yang diajarkan hanya 75 % sampai dengan 84 % yang dikuasai siswa. Sedangkan nilai kurang dan 75 % yang bisa dikuasai siswa.
Dari pendapat di atas, sangat jelas bahwa daya serap siswa dalam memahami apa yang mreka pejari dan bagaimana perilaku siswa dalam belajar. Hal tersebut merupakan hal yang harus dipertimbangkan guru dalam merencanakan strategi pembelajaran, sehingga pelaksanaan pembelajaran nantinya dapat mencapai hasil belajar yang maksimal. Oleh karena itu guru harus mampu menguasai konsep atau materi yang akan diajarkan dan penggunaan metode yang tepat.
Asmani (2014:28) menjelaskan bahwa penguasaan materi adalah langkah utama yang membuat guru harus banyak membaca, menulis, berdiskusi dan mempertajam analisis. Sedangkan metodologi adalah cara untuk meramu materi yang banyak, seperti suguhan atau jamuan makan yang indah, lezat dan menyenangkan  sehingga membuat ketagihan orang yang memcicipinya. Lanjutnya, bahwa materi tanpa metodologi yang kurang menarik, membosankan dan kehilangan daya pikat, sehingga dikhawatirkan anak didik lari. Sedangkan metodologi tanpa materi akan terasa hampa, kosong dan kering ilmu. Oleh karena itu kedua-duanya harus sama-sama dikuasai dan dipraktikkan sehingga hasil pembelajaran memuaskan semua pihak (lihat. Asmani, 2014: 29).
Mengacu dari pendapat tersebut, bahwa penguasaan materi dan metode sangatlah penting bagi guru dalam melaksanakan pembelajaran yang bermakna, sehingga guru tidak asal menilai hasil belajar anak didik yang hanya berdasarkan satu atau dua sumber. Ditambah lagi dengan metode yang monoton tanpa variatif yang akan mengakibatkan kurangnya motivasi siswa dalam belajarnya.
Nah, disini penulis mencoba untuk berinovasi dalam meramu beberapa strategi pembelajaran di atas dengan tetap mengacu pada pendekatan pembelajaran yang berorientasi atau berpusat pada siswa (student centered approach) dan strategi pembelajaran yang sudah ada dengan memodifikasi berbagai strategi yang dikenal “student to student” dengan pendekatan Saintifik yang saat ini populer dalam Kurikulum 2013 yaitu mengamati; menanya; mengumpulkan informasi/eksperimen; mengasosiasikan/mengolah informasi; dan mengkomunikasikan.
Strategi “student to Student” merupakan strategi yang dikembangkan penulis dari strategi Questions Students Have (Pertanyaan dari Siswa) yang ditawarkan Mel Silbermaran (2007) yaitu strategi pembelajaran aktif yang menggunakan pertanyaan dari siswa sebagai bahan utama dalam kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan yang sudah ditentukan. Adapun Kelebihan Questions Students Have adalah: (1) Dapat mengaktifkan siswa secara penuh; (2)Melatih rasa percaya diri siswa; (3) Melatih siswa untuk berbuat jujur (4) Meningkatkan kreatifitas siswa; (5) Dapat memeperdalam penguasaan materi pelajaran; (6) Dapat digunakan untuk semua mata pelajaran. Sedangkan kelemahan dari strategi ini adalah memakan waktu lama jika digunakan dalam kelas besar.
dan pertanyaan dari siswa seringkali tidak sesuai dengan topik yang dibahas (lihat. Mel Silberman, 2007 yang diterjemahkan Sarjuli, dkk).
Berangkat dari kelemahan strategi diatas, yaitu memakan waktu lama dan pertanyaan siswa tidak sesuai topik, maka penulis menyikapina dan mengembangkannya melalui pendekatan saintifik yaitu :
1.      Sebelum kegiatan inti dimulai , guru memberikan penjelasan tentang bagaimana cara belajar yang akan dilakukan dengan menjelaskan langkah-langkah atau tahapan belajar dengan “student to student, sehingga siswa tidak bingung.
2.      Pada kegiatan inti, sebelum bertanya siswa di arahkan untuk mengamati terlebih dahulu media visual dengan waktu yang ditentukan seperti gambar, video dan teks bacaan untuk mengingatkan kembali pengalaman belajar siswa.
3.      Setelah itu siswa diberikan secarik kertas untuk menuliskan pertanyaan yang berhubungan dengan media yang mereka amati, dengan setting waktu yang sudah ditentukan misalnya siswa mengajukan satu pertanyaan dengan waktu 2 atau 3 menit .
4.      Dalam waktu yang ditentukan guru mengumpulkan pertanyaan-pertanyaan dari siswa, kemudian guru mengembalikan kembali pertanyaan siswa secara acak. Setelah itu siswa diberikan waktu 5 sampai 10 menit untuk menjawab pertanyaan yang mereka dapatkan.
5.      Kemudian setelah siswa menjawab guru mengumpulkan kembali jawaban-jawaban tersebut dan memilah pertanyaan dan jawaban yang sesuai dengan topik dan tujuan pembelajaran yang ingin dicapai, misalnya siswa mampu menjelaskan pengertian, contoh perilaku dan sebagainya.
6.      Guru memilah pertanyaan yang relevan, dan jawaban yang mendekati, sehingga yang diambil hanya yang mewakili. katakalah dalam 30 siswa ada 5 atau 8 yang dijadikan sebagai sampel. Setelah itu hanya guru menyampaikan hasil kerja siswa dengan metode ceramah yang bervariatif sehingga pembelajaran dapat menyenangkan dan tumbuhya kepercayaan siswa, misal “ baiklah anak-anak sekarang kita akan bacakan seorang penanya dari saudara, Bapak, atau Ibu, ....dan dijawab oleh seorang Pakar...Fiqh, Dr. KH, atau Ustadz (disini penulis mencotohkan panggilan sesuai mata pelajaran yang penulis ampu).
7.      Setelah guru membacakan jawaban siswa tersebut, guru kembali menegaskan kembali kepada siswa yang lainnya untuk meminta pendapat (mengasosiasi) jawaban tersebut.
8.      Setelah didapatkan dari berbagai jawaban berupa pendapat dan komentar (mengkomunikasikan), guru bersama siswa menyimpulkan dengan menguraikan jawaban yang benar.
9.      Setelah pertanyaan dan jawaban dibacakan serta jawaban yang disampaikan, guru memberikan test tertulis atau latihan lisan kepada siswa dengan pertanyaan yang sesuai dengan materi yang dibahas.
10.  Sebagai tindak lanjut guru memberikan tugas dan latihan di rumah.

Demikianlah uraian singkat tentang strategi “student to student”. Sebagai catatan strategi ini bisa dilakukan 1 atau 2 kali pertemuan atau lebih sesuai topik yang dipelajari.
Dalam pelaksanaannya penulis sudah melakukannya beberapa kali pertemuan, dan alhamdulillah anak didik ketagihan dengan strategi ini dan mudah-mudahan strategi ini dapat bermanfaat bagi ingin mencoba. Terima kasih. Selamat Mencoba !!!!!!!

Penulis : Guru PAI SMKN 1 Sukadana

HP. : 085252014985

Selasa, 14 Juni 2016

Memaknai Ramadhan Meraih Taqwa



Memaknai Ramadhan Meraih taqwa

Oleh : Jamani



Kaum muslimin sidang jumah rahima kumullah

Marilah kita senantiasa bersyukur atas segala karunia dan segala limpahan nikmat yang kita rasakan hingga saat ini, , disisa usia kita, allah dengan rahman dan rahimnya kita masih dipertemukan dengan ramadhan yang penuh berkah, bulan penuh kemuliaan dan bulan pengampunan.
 Sangat merugilah bagi yang menyia-nyiakannya. Rasulullah saw menegaskan, “barangsiapa berpuasa ramadhan karena iman dan mengharapkan pahala dari allah swt, niscaya allah mengampuni dosanya yang telah lalu. Dan barangsiapa melakukan amal ibadah tambahan (sunah) di bulan ramadhan karena iman dan mengharapkan pahala dari allah swt, maka ia akan diampuni dosanya yang telah lalu.” (H. Bukhari muslim).

Kaum muslimin sidang jum’ah rahima kumullah,

Melalui keutamaan bulan ramadhan ini “khatib mengajak khususnya pribadi dan seluruh jamaah, marilah kita selalu meningkatkan iman dan ketaqwaan kita kepada allah swt. Yakni melaksanakan perintahnya dan menjauhi segala larangannya.

Kaum muslimin sidang jum’ah rahima kumullah,

Hari ini kita sudah memasuki hari yang ke-5 untuk berpuasa dibulan yang penuh rahmat ini, ada dua hal yang kita garis bawahi yaitu istilah membatalkan dan mengurangi nilai pahala puasa.

1.         Membatalkan

Kita sering melihat banyak di antara kaum muslimin yang meremehkan kewajiban yang agung ini. Jika kita lihat di bulan ramadhan di jalan-jalan ataupun tempat-tempat umum, banyak saudara muslim tidak melakukan kewajiban ini atau sengaja membatalkannya. Padahal mereka kuat secara fisik mereka malah terang-terangan makan dan minum di tengah-tengah saudara mereka yang sedang berpuasa tanpa merasa berdosa sama sekali. Padahal mereka adalah orang-orang yang diwajibkan untuk berpuasa dan tidak punya halangan sama sekali. Mereka adalah orang-orang yang bukan sedang bepergian jauh, bukan sedang berbaring di tempat tidur karena sakit dan bukan pula orang yang sedang mendapatkan halangan haidh atau nifas. Mereka semua adalah orang yang mampu untuk berpuasa.
Dalam hal ini sebuah kisah dari sahabat abu umamah al bahili radhiyallahu ‘anhu. Beliau (abu umamah) menuturkan bahwa beliau mendengar rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,”ketika aku tidur, aku didatangi oleh dua orang laki-laki, lalu keduanya menarik lenganku dan membawaku ke gunung yang terjal. Keduanya berkata,”naiklah”. Lalu kukatakan,”sesungguhnya aku tidak mampu.” Kemudian keduanya berkata,”kami akan memudahkanmu”. Maka aku pun menaikinya sehingga ketika aku sampai di kegelapan gunung, tiba-tiba ada suara yang sangat keras. Lalu  aku bertanya,”suara apa itu?” Mereka menjawab,”itu adalah suara jeritan para penghuni neraka.”
Kemudian dibawalah aku berjalan-jalan dan aku sudah bersama orang-orang yang bergantungan pada urat besar di atas tumit mereka, mulut mereka robek, dan dari robekan itu mengalirlah darah. Kemudian aku (abu umamah) bertanya,”siapakah mereka itu?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,”mereka adalah orang-orang yang berbuka (membatalkan puasa) sebelum tiba waktunya.” (hr. An nasa’i dalam al kubra, sanadnya shahih. Lihat shifat shaum nabi, hal. 25).

Kedua, mengurangi nilai puasa,

Jika seseorang berniat ibadah puasa dimalam hari (sebelum fajar menyingsing), lalu ia meninggalkan segala hal yang dapat membatalkan puasanya, seperti makan, minum, dan berhubungan intim dengan istri, maka puasanya dapat dikatakan sah. Artinya, telah terlepas kewajiban berpuasa darinya. Namun apakah hal tersebut pasti membuahkan pahala?

Pada dasarnya, segala perkara yang sia-sia -apalagi maksiat- dapat merusak pahala puasa seseorang. Oleh karena itu, seyogyanya kita menghindarinya sekuat tenaga agar kita dapat meraih pahala yang sempurna dengan izin allah melalui puasa yang kita laksanakan. Atau paling tidak jangan sampai puasa kita –meskipun sah– tidak berbuah pahala, melainkan hanya mendapat lapar dan haus semata, na’uudzu billaah min dzalik. Diantara perkara-perkara tersebut adalah :

Berkata kotor, berteriak-teriak (bertengkar), bertindak bodoh, dan melakukan perkara yang sia-sia.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya), ”apabila seorang diantara kalian berpuasa maka janganlah ia berkata kotor, berteriak-teriak (bertengkar), dan bertindak bodoh. Jika ada orang yang mencela atau mengajaknya bertengkar maka katakanlah : ‘sesungguhnya aku sedang berpuasa (dua kali)’ ” (hr. Bukhari dan muslim)

Kemudian berkata dan melaksanakan kedustaan

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya), “barang siapa yang tidak meninggalkan ucapan dusta dan melakukan sesuatu dengan dasar kedustaan itu, maka tidak ada gunanya ia meninggalkan makanan dan minumannya itu disisi allah”(hr. Bukhari)
Mendengar, melihat, membicarakan, dan melalukan segala perkara yang diharamkan olehâ allah

Hikmah syariat yang tertinggi yang berada dibalik perintah puasa adalah agar seseorang dengan ibadah puasanya ini dapat menjadi hamba allah yang bertaqwa. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “wahai orang-orang yang beriman, telah diwajibkan atas kalian berpuasa, sebagaimana puasa juga telah diwajibkan atas umat-umat sebelum kalian, agar kalian menjadi orang-orang yang bertaqwa” (qs. Al baqarah : 183)

Banyak sekali orang yang ketika berpuasa dan ketika menunggu waktu berbuka yang penuh berkah, mereka tidak melewatinya dengan beramal sholeh dan melakukan hal-hal yang bermanfaat, namun justru menghabiskannya dengan sekian banyak perbuatan maksiat, baik yang diucapkan oleh lisan, seperti menggunjing orang (ghibah), mengadu domba sesama muslim (namimah), mencaci-maki orang, dan semisalnya, semua ini –tanpa keraguan sedikitpun– merusak nilai-nilai dan janji pahala puasa yang istimewa dari allah ta’ala dan merusak inti tujuan dan hikmah disyari’atkannya puasa itu sendiri, yaitu untuk meraih derajat taqwa.



Makan dan minum adalah perkara yang – pada asalnya – mubah dilakukan oleh orang yang tidak sedang berpuasa, namun ia menjadi haram dilakukan pada saat puasa, dan dapat membatalkan puasa. Akan tetapi bagaimana dengan perbuatan maksiat? Perbuatan maksiat kapan saja ia tetap haram, baik saat berpuasa ataupun tidak. Bahkan kemaksiatan yang merupakan keburukan ini akan semakin bertambah buruk jika dilakukan oleh seseorang yang sedang melaksanakan puasa, dibanding pada saat yang lainnya. Perbuatan maksiat itu dapat merusak keutuhan puasa dan dapat membatalkan pahala puasa yang telah dijanjikan allah ta’ala. Sebagaimana yang diisyaratkan oleh hadits nabawi diatas, ”apabila seorang diantara kalian berpuasa maka janganlah ia berkata kotor, berteriak-teriak (bertengkar), dan bertindak bodoh. Jika ada orang yang mencela atau mengajaknya bertengkar maka katakanlah : ‘sesungguhnya aku sedang berpuasa (dua kali)’ ” (hr. Bukhari dan muslim).

Dan hadits yang lain, “barang siapa yang tidak meninggalkan ucapan dusta dan melakukan sesuatu dengan dasar kedustaan itu, maka tidak ada gunanya ia meninggalkan makanan dan minumannya itu disisi allah”â (hr. Bukhari)
Demikianlah khutbah singkat ini, marilah kita berusaha melaksanakan puasa ini sesuai dengan hikmah tertinggi puasa itu sendiri, yaitu agar dapat menjadi hamba allah ta’ala yang bertaqwa kepada allah ta’ala dengan sebenar-benar taqwa, yaitu dengan cara mengikhlaskan ibadah puasa hanya untuk allah ta’ala dan menjalankan sesuai dengan tuntunan rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta meninggalkan segala hal yang dapat merusak nilai dan pahala puasa kita tahun ini.