Senin, 27 Juni 2016

TAK PUASE; TAK RAYE (Sebuah Renungan sebelum Ramadhan berakhir)



TAK PUASE; TAK RAYE
(Sebuah Renungan sebelum Ramadhan berakhir)
Sebuah ungkapan yang sangat menarik untuk kita renungkan dari animasi populer dari negeri sebelah sikembar Upin dan Ipin “tak puase, tak raye”. Jika dilihat dari bahasa keseharian , mungkin ini ungakan lucu, namun jika dilihat dari esensi puasa itu sendiri, ungkapan ini sangatlah tepat untuk kita menginstropeksi diri sebelum berakhirnya Ramdhan. Sebulan penuh berpuasa menahan diri untuk tidak makan, tidak minum, tidak berhubungan suami istri, dari terbitnya fajar sampai tenggelamnya matahari. Usaha tersebut dilakukan karena iman dan untuk meraih taqwa. Sebagaimana Firman Allah SWT dalam Q.S: 2:183 yang memerintahkan puasa disebutkan: “la allakum tattaqun” (agar kamu bertakwa). Sehingga dapatlah dikatakan, bahwa tujuan puasa itu adalah agar kita bertakwa.
Mengutip Penjelasan M. Quraish Sihab (2008) kata “takwa” mencakup segala macam kebajikan. Ilmu itu takwa, sabar itu takwa (bagian dari takwa). Ada yang mengatakan, bahwa puasa yang kita lakukan adalah untuk menenun pakaian takwa. Lebaran nanti, barulah pakaian takwa tersebut kita kenakan. “Wa libasut taqwa zalika khair”. Sebutlah apa saja dari kebaikan, maka itu termasuk ke dalam “takwa”. Jadi, istilah “takwa”, merupakan segala macam kebaikan ada di dalamnya. Takwa adalah istilah yang digunakan oleh Alquran untuk menggambarkan “dima ul khair (himpunan dari segala macam kebaikan).
Lebih lanjut dijelaskan, jika Alquran mengatakan, bahwa ”diwajibkan kepada kamu berpuasa supaya kamu bertakwa,” maksudnya adalah supaya terhimpun dalam dirimu segala macam kebajikan. Jadi jelaslah, bahwa puasa bukanlah cuma menahan diri (sabar) untuk tidak makan dan tidak minum.
Kemudian dalam hadits Rasulullah yang cukup terkenal, hadits Qudsi yaitu sabda Rasulullah yang merupakan firman Allah, yang firman Allah tersebut tidak termaktub di dalam Alquran, tetapi disampaikan oleh Malaikat Jibril kepada Rasulullah, kemudian Rasulullah menyusun kata-katanya. Kalau Alquran merupakan firman Allah yang disampaikan oleh Malaikat Jibril yang redaksinya langsung dari Allah. Kalau ini, ada yang dikatakan oleh Rasullah, ada yang dikatakan oleh Jibril. Rasulullah bersabda, Allah berfirman: “Ash-shaumuli wa ana azzibi.” Puasa itu untuk-Ku, dan Aku yang akan memberi ganjaran-Nya. Allah mengatakan, bahwa puasa itu untuk-Nya, Dia lah yang akan memberinya pahala.
Ada orang yang berpuasa cuma menahan diri dari makan, minum, dan hubungan suami istri. Ada juga yang berpuasa menahan diri dari makan, minum, hubungan suami istri, dan menahan diri untuk tidak memaki orang lain. Ada juga yang berpuasa tidak makan, minum, hubungan suami istri, tidak memaki orang lain, dan dia belajar, membersihkan hatinya, serta tidak dengki.
Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa yang Maha mengetahui hati itu hanyalah Allah. Karena itulah, tidak bisa lantas digeneralisir. “Akulah yang akan memberi pahalanya,” kata Allah. Kemudian dalam hal ini, para ulama memahami sabda Rasulullah yang merupakan firman Allah ini dengan mengatakan: “Karena puasa itu adalah rahasia antara yang berpuasa dengan Allah, maka itu sebabnya Allah berfirman: puasa untuk-Ku.” Ada juga yang mengatakan, bahwa esensi (tujuan akhir) dari puasa adalah takwa. Dia untuk Allah, yang kemudian ditafsirkan, bahwa untuk Allah yang dimaksud itu adalah rahasia.
Jadi, makna “takwa” merupakan arah yang dituju oleh puasa. Itulah esensinya. Seabgaimana Rasulullah bersabda:“Qammin shaa-imin laysalahu min shiyamihi illal ju’u wal ‘athas.” Banyak orang yang puasa, tetapi tidak mencapai esensinya, melainkan hanya lapar dan haus. Dari segi hukum ia mungkin berpuasa, tetapi bukan itu yang dimaksudkan oleh Allah. Maksud dari puasa adalah kendalikan diri, hiasi diri. Itulah esensi dari puasa sebenarnya.
Nah, Lantas bagaimana istilah upin dan ipin tak puase tak raye. Yang dimaksud disini adalah apakah orang yang tidak berpuasa dapat meraih fitri. Sebagaimana Makna Idul Fitri itu sendiri yaitu memiliki beberapa pengertian dan pemaknaan, diantaranya yaitu Idul Fitri juga bisa diartikan sebagai puncak atau klimaks dari pelaksanaan ibadah puasa di bulan Ramadhan. Idul Fitri sendiri memiliki keterkaitan makna dengan tujuan akhir yang ingin diraih dari pelaksanaan kewajiban berpuasa. Idul Fitri secara bahasa atau etimologi bisa berarti Hari Raya Kesucian atau bisa juga diartikan sebagai Hari Kemenangan umat Islam. Kemenangan disini adalah bentuk dari kemenangan dalam menggapai kesucian atau perwujudan dari kembali kepada keadaan  fitrah (Fitri) (Lihat. Quraish Shihab untuk suarakarya-online.com)
Dari penjabaran tersebut berarti kata Idul Fitri atau kembali kepada fitrah merupakan pengertian yang sangat relevan atau berhubungan dengan makna sebenarnya dari keberhasilan yang diperoleh setelah berakhirnya pelaksanaan ibadah puasa. Beberapa sumber juga menganalogikan Idul Fitri atau Lebaran sebagai jalan menuju kepada keadaan fitrah manusia layaknya seperti seorang bayi yang baru dilahirkan, bersih dan tanpa dosa.

Demikian tulisan seingkat ini, bukan untuk mengajari atau mengatakan kaum muslimin yang tak berpuasa tidak melaksanakan lebaran atau merayakan idul fitri. Akan tetapi paling tidak disisa waktu yang ada dapat digunakan untuk berpuasa, perbanyak amal, baca al-Qur’an, shalat qiyamul lail, bersedekah, berzakat dan bertaubat sehingga dihari kemenagan kita dapat meraih Rahmat Allah di hari fitri. Karena dibulan ramadhan yang sebentar lagi akan berakhir, sangat sayang bulan penuh rahmat, bulan pengampunan kita sia-siakan. Semoga kita mendapat ampunan dan keberkahan dibulan penh kemuliaan. Amin allahumma Amin. Wallahu’alam bisawwab.

1 komentar: